Proses Pendekatan Enam

83 10 6
                                    

Aku berjalan gontai selepas berperang dengan soal-soal ujian. Hari ini, hari terakhir aku menduduki kelas duabelas. Setelah semuanya beres, aku tinggal menunggu hasilnya keluar.

Berat badanku turun drastis. Mendadak perutku menolak untuk diisi. Meski sudah dicaci maki, tapi aku tetap mengabaikan sederet ucapan Ayah. Seolah-olah telingaku memelantingkan ucapan itu begitu saja.

Bahkan, makanan yang dikirim Murayama-san setengahnya ludes dimakan Ayah. Aku tidak tahu harus marah atau bagaimana. Salahku juga yang terlalu fokus dengan materi. Mengabaikan penyakit yang bersarang di tubuh kembali kambuh.

"Oh, kapan Murayama-san datang? Sudah menunggu lama?"

Di depan gerbang, dari banyaknya manusia, aku menemukan Murayama-san di sana. Di dekat gerbang, tepatnya di bawah pohon yang rimbun. Ia sedang duduk sembari mengemut permen. Begitu saja, ia sudah banyak mencuri perhatian banyak orang. Aku jadi tidak betah berlama-lama di sana.

"Em? Tidak, sekitar lima belas menit yang lalu."

Cepat, Murayama-san bangkit. Ia memasukkan sebelah tangannya ke saku celana. Ada yang berbeda dari penampilan Murayama-san.

Biasanya, ia selalu memakai jaket yang dibiarkan tidak diresleting. Sehingga dalaman berwarna putihnya kelihatan. Samar-samar aku pernah melihat lekuk ototnya yang tercetak karena bermandikan keringat sehabis ia baku hantam dulu. Saat aku ke sekolah berandalan itu, ingat?

Oh, aku juga pernah merasakan sesuatu yang keras (jangan salah tangkap!) menempel di samping tubuhku sewaktu memapahnya dulu.

Mukaku terasa terbakar. Aku menggeleng kuat-kuat. Jangan keluar jalur! Oke, oke. Selain itu, Murayama-san juga seringnya memakai celana levis.

Nah, ini! Sekarang, celana itu sudah tergantikan dengan celana bahan berwarna hitam. Jaketnya juga entah lenyap ke mana, berganti baju hitam yang di dalamnya dipakaikan kemeja kotak-kotak biru tua.

Gakuran.

"Kau masih memikirkan ujian, ya?"

"Huh?"

Murayama-san membuang gagang permen di tempat sampah. Untuk ukuran berandalan, menurutku ia tahu tempat dan masih tahu kapan aturan dipakai. Lalu, ia menatapku. "Dari tadi, kau tidak fokus. Apa kau teringat jawaban yang kautulis itu salah atau rumusnya tidak sesuai urutan?"

"Tidak. Kenapa Murayama-san menebak itu?"

Untunglah, aku tidak gagu mendadak. Walaupun aku tahu pasti mukaku sedang menahan lonjakan hebat dari jantungku yang mencelos (semoga kondisinya tidak aneh).

Aku seperti ketahuan berfantasi jorok pada Murayama-san. Betapa tidak berbudinya.

"Yah ... biasanya anak pintar, kan, begitu. Kalau aku, cepat kerjakan dan lupakan. Mungkin, kalau kau, kerjakan dan renungkan."

Aku tertohok! Apa ia sudah tahu salah satu sifatku yang itu?

Diam-diam aku menebak sudah berapa banyak sesuatu dalam diriku yang Murayama-san ketahui. Mengingatnya mengetahui beberapa soal latar belakangku, membuatku sedikit takut awalnya. Hei, siapa yang tidak takut saat tahu dirinya dikuntit? Aku memang gila, tetapi tidak segila itu, sampai-sampai senang saat diikuti penguntit.

"Murayama-san." Daripada lelah memikirkan kemungkinan-kemungkinan tak berkesudahan, aku memutuskan untuk bertanya langsung saja.

"Ya?"

"Apa kau sudah tahu?"

Kami berhenti di depan toko buku. Tanpa sadar, aku melewati jalur yang berbeda dari jalan yang biasanya aku lewati sehabis pulang sekolah.

Process of Loving Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang