"Kau siapa dan sedang apa di sini?"
Suara dari belakang mengejutkanku. Saat berbalik, kutemukan laki-laki berambut pirang bersama dua orang lainnya yang berjalan di sampingnya.
"Itu ... aku mencari Murayama-san. Apa dia ada?"
Mereka saling berpandangan.
Ceritanya begini, Murayama-san betulan mengajakku bertemu lagi. Ia bilang, tunggu saja di minimarket. Namun, karena waktu yang ditetapkannya meleset, aku harus mengalah dengan datang ke sekolahnya.
Aku tahu sekolah berandalan yang terkenal itu, tapi nama, baik muka mereka tidak ada yang aku kenal, selain Murayama-san, tentunya.
"Kau siapanya Murachi?" tanya laki-laki berambut hitam klimis.
"Temannya." Memang benar. Meskipun dekat dan terkesan mesra (uh, aku agak geli mengatakan kata terakhir) tapi aku dan Murayama-san hanya sebatas teman.
"Setahuku, Murayama tidak punya teman perempuan," kata rambut keriting menimpali.
"Aku baru mengenalnya dua bulan belakangan." Tidak mau dianggap penipu, kukatakan hal sebenarnya. Lagipula untuk apa menipu berandalan? Sayang sekali nyawa yang kujaga baik-baik. Aku belum kaya, omong-omong. Mati sia-sia di usia muda tidak masuk daftar target hidupku.
"Siapa namamu?" tanya si pirang.
"A—"
"Sudah kubilang, tunggu saja di minimarket."
Seseorang yang kucari muncul dari dalam sekolah, ia bersama kedua temannya. Satu tinggi semampai, sedangkan yang satu lagi berkepala botak dan berotot, mirip algojo yang siap memenggal kepalaku.
Tawa kikuk keluar dari mulutku. Aku sedikit mengulum bibir. "Maafkan aku. Habisnya, kau telat. Aku bosan. Makanya, sekalian saja ke sini."
"Oh, apa dia yang kau bicarakan, Murayama-san?"
Alisku mengerut. Apa maksud dari pertanyaan si Algojo itu?
"Yeah .... Kalian, kembalilah. Kau, ayo pergi!"
Raut kebingungan tampak jelas sekali di mukaku. Tanpa ada yang mau menjelaskan, aku membuntuti Murayama-san
Aku tidak tuli. Sayup-sayup mereka masih membicarakan kami.
"Siapa dia?"
"Pacarnya Murayama. Memangnya kenapa?"
"Pacar? Kukira, Murachi menyukai gadis-gadis geng motor."
"Tampangnya memang standar, tapi dia bagi Murayama itu spesial. Dan oi! Berhenti memanggilnya Murachi, Brengsek!"
Sempat terpikir olehku, tidak mungkin berandalan menyukai gadis biasa saja—dari segi tampang apalagi bodi—untuk dijadikan pacar. Aku satu kepala dengan pria tinggi itu (aku tahu siapa yang berbicara karena menengok sedikit).
"Yang tadi itu teman-temanmu?"
Selama kami meninggalkan sekumpulan laki-laki barusan di belakang, Murayama-san tidak menoleh sedikit pun ke arahku. Ia malah sedikit memberikan jarak. Tetapi, setelah dirasa kami sudah jauh dari sekolahnya, ia menatapku lekat-lekat.
"Iya. Lain kali, kau tetap tunggu saja di minimarket. Atau tidak, hubungi saja aku."
Astaga, aku lupa! Setelah pertemuan kedua kali—saat aku dicegat oleh para berandalan sepulang sekolah dulu—Murayama-san meminta nomor teleponku. Dari sana juga kami jadi dekat.
"Hehe, aku lupa."
Ia hanya menggeleng.
Selama di perjalanan, aku asyik di pikiranku. Mengabaikan semua yang ada di sekitarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Process of Loving
RandomCinta sendiri ialah tabu untukku pribadi. Sesuatu yang tak dapat kumengerti, tapi tiba-tiba seseorang mengatakan padaku kalau ia mencintaiku. Namun, aku masih belum menemukan alasan apa agar aku bisa menjalin hubungan dengannya. Tak dapat dipungki...