"Seseorang menunggumu di gerbang."
Perempuan berambut sebahu tiba-tiba menghampiriku. Ia dari kelas sebelah. Aku yang tengah menyapu—jatah piketku hari Kamis—menoleh dengan raut kebingungan.
Aku hanya mengangguk, berterimakasih dan lanjut menyapu.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, gadis itu pergi. Sialnya, aku belum bertanya siapa yang menungguku itu.
Seingatku, tidak mungkin seorang teman dari sekolah lain yang nekat datang ke sini, aku juga tidak punya janji yang tidak ditepati pada mereka, atau salah satu keluarga? Sepertinya bukan. Mau apa ia kemari?
Di kelas, tak ada orang lain selain diriku. Piket sendirian dan pulang lebih sore dari anak kebanyakan sudah jadi rutinitas sehari-hari yang tak bisa terelakkan.
Orang bilang aku kelewat rajin atau terlampau baik. Mereka salah, aku hanya melakukan tanggung jawabku.
"Eh? Kapan kau kemari?"
Keterkejutan terbit di muka. Seorang laki-laki dengan bandana biru tua andalannya sudah bersidekap dada di ambang pintu. Untung saja debu-debu tidak mengenai mukanya yang tersenyum itu.
"Menjemputmu. Apalagi?"
"Kenapa? Biasanya juga aku selalu pulang sendirian." Tak menyangka, bahwa seseorang yang dimaksud itu ialah Murayama-san.
Ia melongok. Menyapu pandang seisi kelas sedangkan aku sendiri masih memikirkan bagaimana menyuruhnya menyingkir dari jalan. Aku harus lekas pulang. Berlama-lama di sekolah tidak menyenangkan sebetulnya, kalau tidak ada teman.
"Kalau begitu, Murayama-san tunggu saja di luar. Aku sedang menyapu."
Ia tidak menggubris. Ia justru melangkah, untungnya sepatunya itu tidak membawa kotoran yang menyebabkan aku menyapu ulang. Lalu, ia duduk persis di tempat dudukku—berhadapan langsung dengan meja guru.
"Aku tunggu di sini."
Menghela napas, aku melanjutkan piket. Selama menyapu itu, bulu kuduk dari betis, lalu menjalar hingga ke seluruh tubuh, berdiri. Punggungku bergidik. Kutebak, sepertinya orang yang sedang duduk di sana itu memandangiku terus-menerus.
Saat semuanya usai, aku menata alat kebersihan di pojok kelas. Kemudian berjalan menghampiri Murayama-san, mengambil tas.
"Ayo!"
Matahari mulai keemasan. Pukul empat lewat lima belas. Aku menyusuri jalan, sambil sesekali melirik Murayama-san. Ia tidak bertanya apa pun. Kami jalan dalam sepi. Aku tidak suka kecanggungan, lantas aku yang harus memulai percakapan.
"Murayama-san, biasanya di sekolahmu pulang jam berapa?"
"Terserah kami."
"Wah ... aku iri."
Ia berbalik, kami sempat saling pandang, tapi ia berpaling. Aku tidak tahu seperti apa laki-laki yang sedang mabuk asmara, sebab kulihat tanpa sengaja, meski samar-samar, Murayama-san bersemu.
"Kenapa kau iri pada kami?"
Aku mengernyit. "Bukankah semua orang juga mendambakan kebebasan? Jadi, menurutku, jelas sekali kenapa aku iri pada kalian."
"Tapi sekolahmu menjamin masa depan," katanya.
"Belum tentu. Siapa yang mengatakannya?"
"Tidak ada. Ya ... kalian, kan, dibekali pengetahuan untuk jenjang yang lebih tinggi atau mungkin pekerjaan. Tidak seperti sekolah kami yang kerjanya hanya berkelahi, berkelahi dan berkelahi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Process of Loving
AléatoireCinta sendiri ialah tabu untukku pribadi. Sesuatu yang tak dapat kumengerti, tapi tiba-tiba seseorang mengatakan padaku kalau ia mencintaiku. Namun, aku masih belum menemukan alasan apa agar aku bisa menjalin hubungan dengannya. Tak dapat dipungki...