kesatu.

1.4K 96 17
                                    

"Hah, lelah sekali."

Hyunjin memijat pelipisnya, agaknya mulai menyesali keputusan mengikuti arah tungkai kakinya yang dengan tidak tau diri melangkah ke satu pub tersohor di kota Seoul. Sudah berkutat dengan tesisnya sejak pagi hari– hingga bahkan kacamata bulat ringan yang teronggok mengapit batang hidungnya tersebut tidak sempat ia lepas, tidak seharusnya membuat Hyunjin berada di tempat penuh kerlap-kerlip lampu, digelayuti bau alkohol dengan musik yang mengalun tanpa jeda melalui speaker, bukan? Ditambah lagi banyaknya mata genit yang mengerling kepadanya, tak peduli dari wanita atau pria. Karena sejujurnya, siapapun tak dapat mengelak bahwa paras Hyunjin tetap berada di kelas atas rata-rata meskipun sedikit sayu karena tenggelam dalam tesisnya beberapa bulan terakhir ini.

Bukan tanpa alasan Hyunjin menginjakkan kaki ke tempat ini, sebenarnya. Han Jisung, teman sesama mahasiswa strata dua di universitas yang cukup bergengsi kota Seoul itu menghubunginya, mengajaknya bercengkrama membahas tesis. Tidak masuk akal, bukan?

Hyunjin tau itu persis, namun dengan bujuk rayu Han– begitu lebih akrab lelaki mungil dengan rupa imut seperti tupai itu dipanggil, yang mengatakan bahwa sudah terlalu lama Hyunjin tidak bersenang-senang. 'Lama-lama kamu seperti kakek tua dengan otot-otot yang mengendur jika terus hidup seperti ini!' ucapan Han di telepon beberapa waktu lalu kembali terngiang di indra pendengaran Hyunjin. Memang Hyunjin sangat tenggelam dalam tesisnya, mengingat ia penerima beasiswa yang membuatnya dikejar-kejar bayangan agar bisa lulus tepat waktu. Hal itulah yang membuat Hyunjin, hampir tidak keluar rumah setelah beberapa bulan lalu menyelesaikan penelitian dan observasinya untuk memperoleh data yang ia perlukan. Pagi, siang, sore, malam, tengah malam, you name it. Hwang Hyunjin akan berada di depan laptop, buku tulis, kertas-kertas, segala yang berkaitan dengan tesisnya.

Ayolah, ajakan Han tidak terlalu buruk, bukan?

Dia meringis sendiri ketika berkunjung ke kediaman Hyunjin seminggu lalu, melihat gelas-gelas kopi kotor yang memenuhi meja, ditambah kertas-kertas berserakan dengan coretan asal di sekitar flat berukuran tidak terlalu besar itu, yang lebih tepat disebut sebagai studio mini. Karena tidak hanya berisi berkas penelitian yang memuakkan mata, dinding-dinding flat tersebut juga dipenuhi lukisan Hyunjin yang digarapnya ketika sedang penat, begitu caranya melepas stres. Hyunjin memang terkadang menjual lukisannya, tambahan uang saku meskipun kerap kali tak seberapa. Tapi tetap saja, bagi Hyunjin yang tumbuh dari keluarga berekonomi tak cukup, uang jumlah berapapun sungguhlah didamba.

Si kecil tampan dari keluarga Hwang cukup beruntung memiliki otak encer yang membuatnya langganan naik podium sekolahnya sejak dahulu, yang berakibat sokongan beasiswa terhadap Hyunjin selama menempuh strata satu dan dua di salah satu universitas kota Seoul yang tidak hanya bergengsi, namun juga mahal. Hal ini yang mengakibatkan Hyunjin dapat memperluas jaringan pertemanannya– sampai ke anak-anak konglomerat kapitalis bedebah yang acap kali berbuat sesuka hati mereka tanpa rasa cemas akan bayang-bayang dicabutnya beasiswa. Seperti Han, contohnya. Kunyuk satu itu digelimangi harta orang tuanya yang kiranya cukup untuk membiayai Han tiga generasi ke bawah.

Tidak hanya Han, tapi juga Jeongin.

Lampu kerlap-kerlip semakin heboh memancar kesana kemari menyinari pub tersebut, tetap tak menghalangi jarak pandang Hyunjin pada satu lelaki yang hanya sedikit lebih pendek darinya di ujung sana, Yang Jeongin.

Si lelaki manis dengan rahang tajam, mata sipit berkilau dan pipi yang bersemu merah jambu malu-malu, penampilannya dilengkapi rambut pirang yang disisir belah dua dengan poni, serta kemeja dan celana casual namun tetap glamor yang melekat di tubuhnya.

Cantik.

Darah Hyunjin serasa berdesir, bulu kuduknya meremang akibat sensasi tersebut.

Jeongin.

☆ Sin's Circle《hyunjeongknow》Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang