01 Gluttony

75 37 12
                                    

Sekarang aku berada di kelas sembilan, dan besok akan menjadi tepat tiga bulan Cina meninggalkan dunia ini. Tapi sepertinya… hanya sedikit yang mengingat hal itu. Kebanyakan dari mereka sudah percaya bahwa alasan Cina bunuh diri adalah karena stress. Tapi aku yakin, ada sesuatu yang—

“Hm… sepertinya cuaca kota Paris hari ini agak sedikit mendung, ya.”

“Eh?” Tanpa sadar seorang gadis sudah berdiri di depanku.

“Selamat Pagi, Paris~~” Dia menyebut namaku seolah sedang menyanyi. Tapi begitulah dia. Ayah dan ibuku pertama bertemu di kota Paris, dan disana jugalah mereka menikah. Oleh karena itu, mereka memberikan nama Paris kepada anak mereka, yang suka sekali dibuat bercanda oleh gadis berambut hitam panjang ini. Tapi hal itu kadang membuatku senang sendiri.

“Pagi, Danti.” Gadis cantik dan berkulit putih, dengan tahi lalat kecil dibawah mata kanannya ini adalah Danti. Dia merupakan seorang murid pindahan dan langsung masuk ke kelas delapan. Danti merupakan murid pindahan pertama yang pernah diterima di sekolah ini, padahal Kepala Sekolah pernah berkata bahwa murid pindahan yang ingin masuk kesini harus melewati ujian percobaan dulu, yang katanya ujian tersebut lebih sulit bahkan untuk anak berprestasi sekalipun. Tapi Danti berhasil melewatinya. Aku pernah mendengar seseorang berkata bahwa Danti berhasil masuk dengan nilai sempurna. Sesuatu yang bahkan tidak bisa dicapai dua murid paling pintar disini, Cassiopia dan Mega. Tapi karena tidak ada bukti akan hal itu, mereka menganggap Danti hanya beruntung saja waktu itu.

“Seseorang akan tahu apa yang sedang kau pikirkan jika melamun begitu.” Dia kemudian duduk di bangku sebelah kiriku.

“Hehe.” Cantik, pintar, baik hati, dan tenang. Walaupun dirinya tidak menonjol dalam bidang apapun, Danti sudah memiliki banyak pengagum. Dan aku cukup bersyukur, dari sekian banyak murid, aku memiliki hubungan yang lumayan akrab dengan Danti, yang kadang membuatku merasa ada mata-mata mengancam yang selalu memperhatikanku ketika aku bicara dengannya.

“Sudah menemukan sesuatu?” Seorang gadis berkuncir dengan kacamata mendekati meja tempatku duduk. Namanya adalah Mega, murid tercerdas kedua di sekolah ini. Dan aku tahu apa maksud ucapannya, yaitu soal petunjuk tentang bunuh diri Cina. Mega dan Cina berteman cukup akrab, jadi dia mungkin juga berpikir sama sepertiku, bahwa ada sesuatu dibalik kasus bunuh diri Cina.

“Belum… sulit sekali mencari informasi jika tidak ada satupun petunjuk yang mengarah ke situ.”

“Petunjuk ya…” Mega mengalihkan pandangannya keluar jendela. Kemudian langsung beranjak ke tempat duduknya tanpa mengatakan sesuatu.

Alarm yang memberitahukan waktu pulang-pun berbunyi. Aku meregangkan kedua tanganku keatas. Aku kadang masih tidak percaya bahwa hanya duduk dan belajar bisa membuatku lelah. Delapan jam, waktu sekolah yang mungkin lebih banyak ketimbang SMP sederajat lainnya, tapi itu bukanlah hal yang tidak wajar untuk sekolah elit ini.

Aku melihat seorang lelaki gendut mendekati bangku Danti. “Hei Danti, bagaimana kalau sehabis ini kita makan bareng?”

“Maaf Kenta, tapi sepertinya aku langsung pulang saja.” Danti menolaknya dengan lembut dan tersenyum. Yah, aku juga ragu dia mau, mengingat dia memang selalu menolak setiap ajakan yang datang kepadanya.

“Hei Kenta, bagaimana jika kau mentraktirku saja?”

“Aku sedang tidak bicara denganmu, Paris,” ucapnya kepadaku dengan muka yang sinis. Aku tertawa bercanda. Dia tersenyum dihadapan Danti, tapi langsung bermuka masam ketika denganku. Dasar gen—

Seorang murid masuk. Tubuhnya kurus dan memakai kacamata, kurasa dia dari kelas sebelah. Dia berjalan mendekati Kenta.

“K-Kau Kenta kan?”

Asnia & Tujuh Dosa Besar (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang