Wish List: 4

354 46 10
                                    

Kubuka pintu kamar perlahan. Sesungguhnya siap tidak siap harus berhadapan dengan Bhas yang sedang merajuk. Tuh, bener kan. Selama aku ngobrol di ruang tamu, dia fokus laptopan di atas kasur sambil mengenakan kacamata dan earphone.

Aneh gak kalo aku bilang hatiku berdesir liatnya? Selama tiga hari di sini aku selalu disuguhi pemandangan Bhas yang dewasa—bahu tegap, pipi kasar bekas cukuran, dan suara sedalam palung Mariana. Yang kulihat sekarang agak sedikit berbeda. Dengan kacamata menggantung di ujung hidung, rasanya kayak lagi ketemu Bhas versi kuliah. Cuma kurang gondrong aja.

"Ina udah pulang?" tanyanya sembari melepas salah satu earbuds. Sorot mata ini kenapa gemas sekali sih. Kayak ada bintang-bintangnya.

"Aku... mau pergi sama Ina."

Wajah gemas itu seketika berubah dingin. Well, sesuai dugaan.

"Ya udah," Bhas kembali memasang earbuds-nya lalu memanglingkan wajah ke laptop, seolah pemandangan itu lebih menarik daripada aku.

"Soalnya aku harus..." ayooo cari alasan yang paling urgent! "Nemenin Ina belanja buat arisan di rumahnya. ART-nya lagi pulang kampung. Jadi Ina ngerjain semuanya sendiri."

Kayaknya dia lagi dengerin musik kenceng deh sampe omonganku barusan gak didengar sama sekali. Ugh, ternyata gak semudah itu sobat.

Sengaja kuhempaskan tubuh di sebelah Bhas sampai kasur sedikit berguncang. Bhas tetap bergeming, sama sekali gak terganggu dengan kehadiranku.

"Boleh ya? Janji gak sampe malem," bujukku lagi kali ini sambil memijat kaki. Bhas sedikit terkesiap dengan sentuhanku. Kaget kali ya tiba-tiba diserang binatang buas.

"Iya, sana."

"Yang ikhlas dong."

"Iya iyaaa! Gih sana siap-siap!"

"YEAYYY!" refleks kuhamburkan pelukan sampai tubuh kami sama-sama oleng. Kesempatan baik, kukecup tahi lalat di ujung hidungnya berkali-kali. Jangan bilang siapa-siapa ya kalau dari dulu aku selalu ingin melakukan ini. "Aku utang 3 orgasme sama kamu."

Sebelum Bhas berubah pikiran, segera kukunci pintu kamar mandi dan bersiap-siap napak tilas bersama Ina. Sejujurnya aku tidak berani karena tanpa sadar aku mulai mempertimbangkan satu persatu kemungkinan terburuk apa yang akan terjadi.

Namun daripada menerka-nerka, akan jauh lebih tenang untukku jika mencari tahu.

* * * * *

"First thing first, kita harus ke Cake Lab dulu," ujar Ina saat mobilnya melaju membelah jalanan. Menurutku Jakarta di tahun sekarang tidak begitu banyak berubah. Yang bikin bingung cuma jalan layangnya makin banyak sama gedung tingginya gak cuma di pusat kota. Ya contohnya kawasan apartemenku di bilangan Jakarta Barat. Di sini bisa ada 8-9 tower dengan nama berbeda. Alias di mana-mana ada apartemen.

"Lah, gue udah bilang Cici hari ini gak masuk. Harus kerja banget nih?"

"Ya enggak. Sekarang gue butuh yang manis-manis dan gratis. Jadi kita ke kafe lo dulu."

"Astaga Ina."

"Anggep aja bayaran sakit kepala gue hari ini. Inget ya, gue anggepnya lo lagi kena gendam. Bukan datang dari masa lalu!"

Jangankan Ina, aku pun juga kadang-kadang masih denial dengan kejadian ini. So, digendam it is!

Setelah berbincang singkat dengan Cici yang jaga toko hari ini + Ina yang sudah menenteng ice matcha latte-nya, mobil pun bergerak pelan ke perempatan di depan. Lho, ini kan rumah sakit tempat Luken kerja? Kenapa kami ke sini?

Test DriveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang