Wish List: 1

637 71 26
                                    

Rumah ini terasa baru sekaligus familiar. Baru karena ini pertama kalinya aku ke sini. Familiar karena pemilihan barang, letaknya, dan warna cat sungguh aku banget.

Pas buka kulkas pun sesuai dengan yang kupikir akan ada di sana. Kepalaku kembali berputar memperhatikan seisi dapur. Ukurannya tidak besar mengingat aku di hidup yang baru ini tinggalnya di apartemen. Setiap ruang kosongnya terisi dengan tepat. Banyak rak gantung untuk tempat bumbu dan microwave. Beberapa meja juga dibuat multifungsi. Ini pasti gak murah. Aku kerja apa ya sekarang sampe bisa kebeli ini semua?

Am I really living out my dreams now? For real?

But first thing first, kita makan siang dulu.

Masih canggung ditambah lemas kelaparan, mie instan jadi pilihan tepat. Bikin aku tambah yakin kalau ini betulan rumahku karena saat ngubek-ngubek rak, mie instan yang kutemukan hanya Indomie Soto. Satu-satunya mie instan yang bisa kumakan.

Perut kenyang terisi, aku kembali memutar balik ingatan sebelum bangun tidur yang kukira masih mimpi itu. Semakin kuuraikan, semakin pusing kepalaku.

Aku yakin 100, enggak, 1000% kalau aku masih berada di Sushi Tei bersama Ina. Kenapa sekarang tiba-tiba bangun udah jadi istri Bhas? Dan dari semua lelaki di dunia ini, kenapa harus Bhas? Kenapa kita bisa nikah? Siapa yang naksir duluan? Kami ketemu di mana?

Seberapa keras pun aku memikirkan ini, aku masih tidak tahu jawabannya.

Atau cari tahu jawaban ini dari orang lain saja?

Setengah berlari aku kembali masuk ke kamar tanpa mencuci piring terlebih dahulu. Hp-ku... hp-ku mana? Oh, ini dia. Bentar. Ini iPhone seri ke berapa lagi? Kok lensanya banyak? Bener hp-ku bukan?

Bener ding. Wallpaper-nya gambar kucing. Tidak diragukan lagi pasti punyaku.

Kutelusuri satu persatu nama di phone book. Beberapa masih kuingat. Tapi lebih banyak gak tau mereka siapa.

Nah. Ini dia. Nama kontaknya masih sama dari kami kuliah hingga sekarang—di entah tahun berapa ini.

Fikom - Paramitha Inaranti

Biasanya butuh bunyi bip tiga kali sampai seseorang yang suaranya kuhapal di luar kepala itu mengangkat telepon. Sedikit banyak menghapus resahku sejak pagi.

"Assalamualaikum. Tinky Winky Dipsy Lala Po?"

"INAAAAAAAAAAA," maaf banget nih aku bener-bener gak tahan untuk gak nangis pas denger Ina mengucapkan password-nya. Dari semua keanehan yang terjadi sekarang, ini adalah hal paling normal.

"Heh, kenapa lo? Berantem lagi sama Bhas?"

"Na, kita harus ketemu hari ini!"

"Wah bener ini berantem."

"Lo di mana sekarang?"

"Abis belanja bulanan. Kenapa? Lo mau gue susul ke kafe?"

"Kafe apa?"

"Lo gak ke kafe hari ini?"

Jangan bilang aku yang sekarang jadi suka nongkrong?

"Na, sebelum lo bikin gue makin bingung, amannya lo ke tempat gue sekarang deh." Betul, aku tidak tahu ini di daerah mana. Lantai berapa. Kendaraanku yang mana. Jadi lebih baik tetap di rumah dan menunggu Peri Ina datang.

"Hmmmm," Ina menimbang-nimbang sesuatu. "Masih ada waktu sih. Ya udah. Gue ke apartemen lo. Mo nitip sesuatu gak?"

"Gak, gak. Lo ke sini aja buruan! Gue tunggu."

Test DriveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang