Bagian 2

18 0 0
                                    


Saya mau bercerita sedikit tentang hidup yang sulit. Suka atau tidak, kau mesti membacanya sampai usai!

Setiap hari saya memulai kehidupan yang begitu saja. Mungkin sudah patah arah tetapi mesti dilakoni. Saya tidak mau menyebut ini roman picisan karena kau tidak akan mendapatkan kisah cinta romantis di sini.

Mungkin. Ini akan menjadi perjalanan panjang dari sebuah pengorbanan. Saya bahkan tidak bisa menginspirasi banyak orang untuk itu. Saya justru tersenggol ke sana-sini tetapi harus bangkit untuk memulai kembali.

"Pak Baihaqqi," panggil sebuah suara yang tidak akan membuat saya terkejut. Saya menoleh. Di samping kanan telah duduk Bu Rosmala dengan kacamata miring ke kanan. "Ini honor bulan Januari, bulan Februari ditunda dulu ya, Pak,"

"Baik, Bu," saya berbesar hati meskipun bulan Mei tak mungkin kembali ke Februari. Saya membubuhkan tanda-tangan di lembaran yang bikin mata saya terbinar.

"Rp257.000 ya, Pak," ujar Bu Rosmala sambil menyerahkan uang yang sudah diklip.

"Benar, Bu,"

"Terima kasih ya, Pak,"

"Saya yang berterima kasih, Bu,"

"Kembali kasih,"

Bu Rosmala membenarkan letak kerudung hitam yang dikenakannya hari itu. Ukiran bunga mawar besar berada di bagian punggungnya. Di bagian pinggir terdapat rajutan benang berwarna merah yang kontras.

"Tolong panggilkan yang lain ya, Pak," pinta Bu Rosmala.

Saya ke kelas.

Ikhlas saja.

Lihat sana-sini, ada beberapa orang yang saya kenal sedang duduk di meja piket. Saya memanggil satu dua nama untuk menjumpai Bu Rosmala. Sisanya adalah guru pegawai yang sedang mengeluh tentang uang makan belum masuk, dan sertifikasi tertunda.

"Pak Baihaqqi nggak singgah dulu," sapa salah satu dari mereka.

"Masih ada perlu, Bu," saya langsung menghilang.

Dua kawan tadi berjalan dengan perlahan. Seolah-olah menunggu saya.

"Giliran kita dibayar honor, mereka sibuk sekali," ujar Bu Diana dengan sinis.

"Benar. Coba kalau mereka dapat sertifikasi, langsung lupa!" tambah Bu Vera dengan nada penuh emosi.

"Sudah, ambil saja apa yang ada dulu," ujar saya.

"Bukan begitu, Pak. Saya cukup sabar sampai bulan Mei. Masa mereka nggak ada empati sedikit pun. Sudah banyak gaji masih menghujat juga. Kita cuma dibayar 1 bulan saja ini lho, itu pun nggak bisa tutupi uang jalan!" keluh Bu Diana.

Begitulah kalau saya mau menceritakan tentang ketimpangan. Kalau kau tak suka saya ceritakan ini, tunggu sebentar!

Saya sebenarnya 'menyesal' mengekor Bu Diana dan Bu Vera. Sesampai di kantor, Bu Rosmala langsung memanggil saya terlebih dahulu.

"Pak Baihaqqi, saya minta tolong ketikkan ini sebentar ya," ujarnya sambil menyodorkan sekitar 10 lembar folio yang telah ditulis tangan timbal balik.

Ada lagi pekerjaan sampingan tanpa bayaran. Keluh saya dalam hati.

"Kapan harus siap, Bu?"

"Hari ini!"

Baiklah.

Saya membuka laptop IBM warna hitam yang sudah ringsek. Saya belum ada dana segar untuk membeli laptop baru. Laptop IBM ukuran 13 inci dengan bulatan merah di atas keyboard itu saya beli dengan sistem cicilan. Bukan laptop baru pula, laptop besar yang dijual dengan harga Rp2 jutaan.

Baihaqqi: Guru HonorerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang