Langit pagi ini berwarna abu-abu, sehari setelah pernikahan sakral itu Kayisa yakin hari-hari selanjutnya pasti akan terasa suram. Pengantin baru harusnya masih terasa momen-moment romantis, namun bagi Kayisa itu tidak akan ada dalam kamusnya. Pernikahan ini adalah pernikahan yang sangat dia tidak inginkan. Jika bisa memilih, Kayisa memilih untuk tidak menikah dengan lelaki manapun. Bagi dirinya semua lelaki sama saja, tidak ada yang bisa mendobrak hatinya.
Jam menunjukan pukul 7 pagi, kamar Kayisa masih gelap--dan sunyi. Namun mimpi indah Kayisa harus buyar karena suara ketukan pintu dari luar, oh ayolah semalaman ia lelah menerima tamu yang tidak ia inginkan. Berikanlah wanita itu waktu untuk beristirahat.
"Kay?"
"Kay udah bangun?"
"Kay bangun yuk, kita sarapan dulu."
"Kayisa?"
Kedua mata Kayisa terbuka lebar saat nama belakangnya dipanggil, dengan malas wanita itu menyibakkan selimutnya dan Kayisa bersumpah akan mencekik pria yang berani-beraninya membangunkannya pagi-pagi seperti ini.
"APA?!" Teriak Kayisa.
Pria didepannya menghela napas panjang dan tersenyum, "Sarapan yuk?"
"Gak usah senyum gitu, mata lo ilang--"
"Papa bilang, kamu suka nasi uduk. Jadi saya udah beliin didepan--"
Kayisa menghela napas berat dan menatap pria didepannya dengan tatapan tajam, "Gue gak laper. Lu kerja kek atau apa kek udah sana deh gue mau ti--"
Baru saja Kayisa hendak menutup pintu kamar, suaminya itu langsung menahan pintu kamar. "Kay? Bukannya kamu semalam bilang ya sekarang mau ke Rumah Sa--"
Mata Kayisa terbelalak, tiba-tiba saja dia ingat perjanjiannya dengan dr. Jeffery untuk membicarakan perizinan Radiologi dirumah sakit.
"Lo kenapa gak bilang si!!" Gerutu Kayisa.
Kayisa dengan terburu-buru menuju kamar mandi meninggalkan suaminya yang berdiri dengan senyum disana. Menatap istrinya yang terlihat lucu berlari menuju kamar mandi.
Dia tahu pernikahannya tidak melibatkan perasaan antara satu sama lain, mungkin hanya dia yang mencintai Kayisa sementara Kayisa tidak. Mencintai wanita yang trauma adalah tantangan baginya. Ghifari Prasetya panggil saja Ghifari atau lebih akrab di sapa Aghi. Pria itu sudah mengenal Kayisa dari kecil namun Kayisa mungkin lupa jika dia adalah teman kecilnya.
Dulu, saat Mama Kayisa masih ada wanita itu tidak semuram sekarang. Ghifari sangat paham akan kehilangan, karena dirinya pun pernah kehilangan harta yang paling berharga. Tunangannya dua tahun lalu tewas dalam kecelakaan tunggal di Tol Jagorawi. Namun, Ghifari tidak mau berlarut-larut terpuruk akan kehilangan. Tepat enam bulan kemarin, ia bertemu dengan Kayisa disebuah toko buku.
"Mau saya antar?"
Kayisa merotasikan matanya dan berjalan terburu-buru meninggalkan Ghifari yang berdiri mematung disana. Ghifari menghela napas panjang, dan kedua sudut bibirnya tertarik. Ternyata, Kayisa sudah berubah lebih dari 180 derajat. Entah apa yang membuat wanita itu terlihat selalu muram. Bahkan saat pernikahan kemarin, Kayisa sama sekali tidak tersenyum.
Meski begitu, Ghifari sendiri yakin jika dirinya bisa membuka hati wanita yang sekeras batu itu. Kayisa hanya butuh seseorang yang mengerti akan dirinya, yang mengerti maunya apa, yang mau dan bersedia mendengar keluh kesahnya, dan menjadi tempat wanita itu pulang.
Semoga Ghifari bisa menjadi tempat Kayisa menetap, bukan hanya rumah singgah.
🖤🖤🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Kayisa | MIN YOONGI [SELESAI]
Fanfiction"365 hari aja ternyata nggak cukup buat kita." Kayisa Gadis cantik berambut panjang itu panggil saja Kay, Kayisa menatap bunga Daisy yang terbawa angin. Baginya hidup itu sebuah pilihan, pilihan antara mati dan hidup. Dia pernah diambang kematian, m...