Sore itu sedikit mendung, dengan langit yang masih menampakkan semburat jingga keputihan. Sabrina ada di sana seperti biasanya, hanya untuk menemui seseorang yang menjadi dunianya di sepanjang masa putih abu-abunya yang akan berakhir setahun lagi. Sabrina bangkit dari tempat duduknya di ujung lapangan, melambai ke arah lelaki yang juga sudah melihatnya itu.
"Sindhu!" teriak Sabrina usai lelaki itu berpamitan untuk kembali main baseball.
"Hei," sapa Sindhu, dengan senyum teduh yang selalu membuat Sasa tidak berhenti menatapnya.
Sabrina mendekat, dengan langkah satu per satu dan hati hati menuju laki-laki bersepatu kets itu.
"Sebenarnya kita ini apa sih?" terang Sabrina. Tentu saja, dengan sedikit gemuruh di hati.
Kalimat itu tidak pernah ia katakan sebelumnya meski sangat ingin. Gadis itu sudah lama memendam semua hal yang ingin sekali ia utarakan ini. Baginya, asal Sindhu selalu disini, ia tidak butuh apapun lagi. Tapi, akhir-akhir ini dengan kesibukan Sindhu menjelang ujian akhir ia merasa mereka sudah sangat berjarak.
Senyum Sindhu memudar. Lalu dirinya kembali meletakkan tas yang sudah diangkatnya tadi ke bangku besi di sebelahnya.
"Maksud kamu?"
"Kita nonton-- jalan, ketawa ketawa bareng, belajar, saling tukar kado pas valentine..." Ucapan Sabrina terputus untuk sejenak menelan ludahnya yang sarat.
"Kamu pernah bilang kalau perasaan kamu ke aku beda. Kamu jelas tau perasaanku ke kamu seperti apa."
"Tapi dua tahun, kita gini aja...?" lanjutnya.
Sindhu mendekatkan diri lagi ke arah Sabrina. Kali ini dengan wajah yang jauh lebih serius.
"Kamu mau kita pacaran?"
Sabrina mengangkat bahu. Lelaki ini sudah cukup membuatnya menunggu. Lalu saat ia ingin semuanya lebih jelas, beginikah caranya bicara?
"Sab, ada yang kamu belum tau." Sindhu seperti enggan menunjukkan seluruh wajahnya di hadapan Sabrina yang menatapnya bingung.
"Aku nggak bisa kalau pacaran atau.. sejenisnya--"
"Kenapa?" Tanya Sabrina.
Sindhu menelan ludahnya susah payah, sambil mencari sebuah alasan yang paling bisa diterima oleh akal sehat cewek itu.
"Aku beda sama cowok cowok lain, Sab. Jadi, aku nggak bisa."
"Beda-- beda gimana sih?" Sabrina mulai frustasi.
"Ya-- aku itu beda. Nggak sama kaya yang lain. Aku nggak bisa pacaran."
"Belum bisa? Karena kamu belum pernah?"
"Bukan. Enggak bisa. Enggak akan pernah bisa."
Sabrina mengernyit.
"Aku nggak normal," ucap Sindhu dengan susah payah.
Wajah Sabrina semakin bingung dengan pernyataan aneh yang baru saja ia dengar itu. Dahinya berkerut menyiratkan tanda tanya besar di kepalanya.
"Aku nggak bisa sama perempuan," ucap Sindhu lagi.
Kalimat singkat itu berhenti disana. Tidak ada penjelasan apapun lagi untuk perempuan yang paling ia sayangi di hadapannya itu. Lagipula, Sindhu enggan memberitahu apapun lagi yang ia sendiri tidak ingin menjelaskannya.
"Maaf, Sabrina."
Sindhu mengambil lagi tas ransel hitamnya lalu pergi meninggalkannya sendiri disana. Hanya itu saja. Kalimat terakhir yang akhirnya menggantung hatinya sampai bertahun tahun lagi.
Sabrina terduduk lemas di bangku besi kosong itu, sambil terus menatap punggung lelaki berseragam baseball itu bergerak menjauh. Lalu hujan turun, sedikit dan rintik. Hingga suasana parkiran motor sekolah sore itu terasa lebih menyesakkan lagi.
Hari itu, adalah hari dimana ia terakhir melihat Sindhu. Lelaki itu tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya setelah malam perpisahan kelas dua belas, lalu hari hari setelahnya.
Sabrina tidak pernah tau Sindhu berkuliah dimana, juga kabar terakhir dari lelaki itu tentang siapa yang bersamanya setelah itu. Sindhu benar benar menghilang, disaat perasaannya begitu penuh ingin bersamanya. Lelaki itu pergi, tanpa sedikitpun kembali untuk melihat keadaannya yang remuk redam.
Dan ia pikir, kisahnya selesai sampai disini.
*****
![](https://img.wattpad.com/cover/312974366-288-k537366.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Nostalgi(l)a
RomansaBagaimana jika cinta pertamamu ternyata penyuka sesama jenis? Dalam hidupnya, Sabrina hanya jatuh cinta sekali. Kepada sosok bermata teduh, berparas biasa, dan berpenampilan sederhana, Sindhu. Cinta pertama yang begitu naif di usianya yang masih san...