"Iya nanti kita ke sana lagi, siapa tahu Bagas ada di sana." celetuk salah satu perempuan tersebut.
Mereka tertawa kembali. "Gue traktir mie ayam kalau beneran dia ada di sana."
Keningku mengerut. "Bagas? Mie ayam?"
Pintu tersebut akhirnya terbuka. Untungnya aku berhasil sembunyi setelah mendengar suara tawa terakhir mereka. Muncul lah dua perempuan dengan badan yang berisi.
Sedikit misteri, semua siswi di sekolah ini yang memiliki badan berisi selalu membicarakan Bagas, entah apa yang sudah dia lakukan.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk menemui mereka.
"Eh Dela."
"Teman Bagas, ya? Sampein ke dia, gue nunggu dia di tempat yang kemarin."
Mereka pergi begitu saja tanpa mempedulikan gerakan mulutku yang akan mengeluarkan suara. Akhirnya tak ku pedulikan lagi. Langsung saja aku masuk untuk mengeluarkan semua beban ini.
***
Kini kelas kami sedang dipertemukan dengan jam kosong, surga bagi para siswa. Semua siswa bersorak gembira. Ada yang memainkan sapu sebagai gitar. Ada yang nonton Drakor sambil senyum-senyum. Ada yang ngobrol menggosipkan kepala sekolah. Sungguh hal yang sangat memuaskan.
"Bay, lo ada Ludo, kan?"
"Ada, Del, bentar." jawab Bayu kemudian menghampiri mejaku.
"Gue yang merah deh." kata Bagas.
"Gue mau coba yang biru, Del." bujuk Bayu.
"Gak. Yang biru udah dibooking sama gue."
"Yang hijau aja, Bay." saran Bagas.
Akhirnya Bayu memilih warna hijau. Permainan dimulai dengan aku yang mendapatkan nomor dadu 6 dan disusul oleh Fajar.
"Jay, gue dapet 5 nih, kalau maju nanti lo balik."
"Gak papa pilih itu aja, Del, punya gue masih banyak yang di luar." jawab Fajar. Tuhkan apa kataku juga, dia anak yang baik dan tidak sombong seperti saya.
"Gak usah minta izin, Del, injak-injak aja." ujar Bayu.
"Yeh, gue mah anak baik gak kaya dia." jawabku menunjuk Bagas yang tak lama kemudian dia menginjak tokenku.
"Gas anjir, itu udah jauh bentar lagi nyampe." tegurku.
Bagas tertawa terbahak-bahak, menepuk-nepuk lenganku. "Kalau tegaan gak bakal menang, Del. Terkadang untuk menang kita harus mengorbankan teman."
"Jadi lo ngorbanin gue, anjir? Wah, gue blacklist, ya, nama lo di daftar teman gue." sungutku.
"Iya maafin gue, gue sengaja." sanggahnya mengacak puncak rambutku.
Aku menepis tangannya. Gak. Aku gak mau baper sama dia. Nyebelin.
"Oh iya, Gas, kemarin-"
"Anjir gue lupa, kemarin cewek kelas 12 IPS 2 nyuruh gue nyampein pesan ke lo."
"Iya gue tahu. Cewek yang gendut-gendut itu, kan? Anak buah gue itumah."
"Anak buah lo semua cewek gemuk yang di sekolah ini? Gila lo, si Rara gak cemburu emang?"
Bagas terdiam, kemudian menatap mataku. "Lo mau dijadiin anak buah gue juga?"
"Ogah, gue kurus."
"Udahlah, Gas, gak usah lo lanjutin lagi yang begituan, fokus aja nyari gimana caranya supaya lo bisa baikan langsung sama si Rara." sahut Fajar.
"Jadi lo nyuruh semua cewek gemuk di sini buat jadi perantara supaya lo bisa baikan lagi sama si Rara?" tanyaku penasaran.
"Gue udah kehabisan cara supaya bisa baikan sama dia, Del. Akhirnya gue nyuruh semua cewek gemuk di sini karena dia gampang kesentuh hatinya sama cewek yang gemuk." terang Bagas.
Aku berdengus. "Aneh, ya, cewek lo, Gas." cetusku.
"Lo juga aneh, apa lo pernah tahu mungkin aja ada yang diam-diam nyimpen perasaan ke lo karena mereka pikir lo mau sama mereka? Lo gak mikir resikonya anjir. Lo sama aja nyakitin mereka. Bahkan gak cuma satu cewek, tapi hampir semua cewek di sini." tambahku.
"Gue setuju sama Dela. Sedari dulu gue udah ngingetin lo berkali-kali tentang masalah ini, tapi lo tetep aja ngelakuin." ungkap Bayu.
"Lo cemburu, Del?" iseng Bagas.
Aku berdiri. "Gue gak mau lo nyakitin banyak hati demi kesenangan lo sendiri." tekanku kemudian meninggalkan mereka.
Fajar menahan tangan Bagas. "Udah, gue sama Bayu aja yang susul. Lo sembunyi ke kamar mandi dulu, terus lo beliin dia es capuccino ke kantin." saran Fajar.
***
Aku berjalan cepat menuju rooftop. Setiap apapun yang terjadi di sekolah, tempat inilah yang pertama aku datangi.
Aku terdiam lama. Ramai sekali isi pikiranku saat ini. Angin dan cuaca yang sedang ini, justru malah mengingatkanku pada sesuatu. Sesuatu yang pernah menjadi tempat bahagiaku.
"Kinara."
"Kamu tahu kenapa aku suka angin? Karena dia tahu betul banyak sekali yang ingin aku sampain ke kamu."
Dia tersenyum sambil mengelus puncak rambutku kemudian memelukku. Pelukan hangat yang selalu menjadi tempat tenangku.
"Kalau kamu sedih nanti pergi aja keluar. Cari angin. Dia akan sampain semua yang kamu rasain. Dan itu, bisa sampai ke aku juga. Aku akan datang dan memelukmu dari belakang sambil bilang, 'ada aku, semua akan baik-baik saja'." terangnya sambil menatapku.
Aku tersenyum. "Gimana kalau kamu tiba-tiba menghilang? Siapa yang akan bilang begitu?" tanyaku.
"Angin. Sudah banyak yang aku sampain ke dia. Dia yang akan ngasih jawabannya ke kamu."
Aku terdiam kepalaku mendongak menatap matanya. "Apa kamu akan benar-benar pergi?"
"Tidak akan." dia kembali memelukku dengan erat.
"Dela."
Lamunanku terbuyarkan oleh seorang laki-laki yang sedang memegang segelas es cappucino. Dia menghampiriku dan duduk di sampingku.
"Kamu lagi rindu Tama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonely In The Crowd
Teen FictionBerat. Ketika berada di lingkungan yang memaksa pundakmu untuk selalu kuat. Sejujurnya, apakah pantas rasa sepi datang ditengah keramaian? Sebagai balasannya, aku tak pernah menyukai sepi dan sendirian. -2022, 08 Juni #challenge30days