Prolog

160 21 384
                                        

"Ini bukan perpisahan, ini adalah awal dari suatu peristiwa yang akan memberi banyak pengalaman."

***

Jakarta, 11 Juni 2022

Rambut tergerai itu bergerak tak beraturan seiring pemiliknya terus melangkahkan kakinya, berlari masuk ke dalam sebuah bandara yang ramai dikelilingi banyak manusia. Diiringi dengan kicauan burung dan keharuman bunga mawar yang dia pegang serta tas berwarna lilac yang terus merosot dari bahu karena cepatnya langkah yang dia ambil. Gadis itu berlari menuju sosok tinggi yang tengah berdiri di keramaian bandara, bersebelahan dengan dua koper biru di sebelahnya.

Sosok itu memainkan mata ke kanan dan ke kiri berharap menemukan gadis yang sedang ia tunggu sembari memerhatikan jam yang melingkar di tangan. Waktu tidak pernah berhenti, tetapi gadis itu tidak kunjung sampai di pandangan, padahal jadwal penerbangan tinggal menghitung beberapa waktu lagi.

"Kak Ryan!"

Lelaki itu menoleh ke belakang, seruan seorang gadis menggema di telinga. Gadis berseragam SMA yang tengah berlari menembus keramaian, sambil memegang tangkai bunga mawar, dan berusaha menaikkan tas punggungnya yang merosot dari bahu kanannya.

"Kak Ryan, tunggu!" lanjut gadis itu, semakin menambah laju larinya.

"Kak ...." Perkataan gadis itu berhenti, saat dia berada tepat di depan lelaki tinggi yang menyebabkan dirinya berlari dari depan bandara sampai di sini.

Gadis itu masih diam, belum melanjutkan perkataannya karena masih berusaha menormalkan napas yang tersengal akibat berlari agar bisa menghampiri lelaki di depannya ini.

"Qan, kamu dari mana aja? Aku udah nunggu dari tadi. Pesawatnya udah mau terbang," ujar Ryan, merapikan rambut Qania yang terurai berantakan.

"Maaf, Kak. Tadi jalanan macet, aku baru bisa dateng sekarang. Lagipun tadi ada rapat teater dadakan coba, sebel banget sama anak OSIS ngasih agenda dadakan. Kebiasaan!" Qania terlihat memanyunkan bibirnya, membuat kegemasan semakin terpancar di wajah mulusnya.

Ryan yang merasa gemas karena ekspresi Qania saat menceritakan kejadian tadi, mencubit hidung Qania pelan. "Iya, iya, Aku maafin, Sayang," balas Ryan, terkekeh kecil melihat ekspresi Qania yang terlihat masih menunjukkan raut kesal.

Kekehan Ryan berhenti saat netra pandangnya jatuh pada tangkai mawar yang berada di tangan kiri Qania.

"Qan, bunga nya kenapa kamu bawa?" tanya Ryan, beralih menatap Qania.

"Ohhh, ini bunganya buat, Kakak," jawab Qania, menyodorkan bunga mawar itu ke hadapan Ryan.

"Tapi itu bunganya Aku kasih buat kamu, Sayang," balas Ryan lembut, mengambil bunga mawar itu dari genggaman tangan Qania, lalu menaruh bunga mawar itu ke kantung baju milik Qania.

"Tapi Kak, aku mau bunga ini kakak yang simpen." Mata Qania terlihat mulai memerah, menahan perasaan sedih yang bergejolak di dalam hatinya.

"Aku, nggak bisa simpen bunganya, Qan. Cuma kamu yang bisa," ucap Ryan, terlihat sebisa mungkin menahan diri agar tidak memeluk kekasihnya saat ini juga, karena sudah Ryan pastikan bahwa gadis di depannya akan langsung menumpahkan air mata begitu sentuhan Ryan menyentuh kulitnya.

"Kak ...." Perkataan Qania terhenti. Ada rasa sakit di tenggorokan sebab ia menahan gejolak perih di hati, membuat perkataannya tertahan. Dia tidak ingin menumpahkan air mata di sini, tapi pelupuk matanya sudah terlalu menumpuk oleh genangan air yang ingin segera diturunkan.

"Aku nggak mau Kakak pergi, Kenapa Kakak harus pergi?"

Suara gemetaran Qania begitu menyakitkan untuk Ryan, tapi di sisi lain dia juga tidak berdaya. Ada banyak alasan mengapa dia harus meninggalkan gadis itu. Salah satunya, demi kebahagian Qania yang Ryan jamin tidak akan bisa lelaki itu berikan dengan sempurna.

Ryan dan Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang