Lapangan kini dipenuhi oleh siswa-siswi dengan topi biru yang mereka kenakan. Antasena pun ikut berdiri dekat perpustakaan bersama teman satu kelasnya sambil menunggu sebuah aba-aba. Dengung mikrofon terdengar, seluruh siswa mulai memfokuskan pandangan pada seorang guru yang berdiri di barisan depan para murid.
"Tes, tes. Selamat pagi Kakak-kakak kelas sembilan!"
"Selamat pagi, Pak!"
Guru-guru mulai berdatangan. Antasena mengamatinya satu-persatu. Acara semeriah ini sejujurnya baru ia rasakan pertama kali. Pada hari ini para guru mengenakan seragam putih hitam, warna kesukaannya. Sebenarnya cocok pula hari ini diartikan sebagai hari monokrom dalam hidup Sena. Mengapa demikian? Karena dirinya sendiri tidak tahu, hari ini haruskah ia bersedih atau berbahagia?
"Hari ini adalah hari baik yang kalian tunggu sejak lama. Genap tiga tahun sudah kalian belajar di SMP Perwira Jaya tercinta ini. Sudah siapkah meninggalkan dengan membawa puing-puing kenangan? Siap tidak siap tetap harus pergi. Pesan Pak Vinsen, mewakili Bapak dan Ibu Guru yang lain, belajarlah lebih tekun lagi. Karena di tingkat atas nanti, persaingan kalian akan jauh lebih keras. Jaga diri baik-baik! Kalian sudah bukan anak kecil, bijaklah memilah mana yang baik dan buruk. Jika sekiranya Bapak dan Ibu Guru pernah menyakiti hati kalian, mohon dimaafkan. Sukses buat semuanya, restu Bapak Ibu Guru bersama kalian. Sebelum saya akhiri, mari bersama-sama terbangkan mimpi setinggi yang kalian bisa. Hitungan ketiga dilempar ya! Satu ... dua ... tiga, lempar!"
Dilemparkannya topi mereka setinggi-tingginya dan disusul oleh tepuk tangan meriah dari Bapak/Ibu Guru. Hal ini dilakukan sebagai simbol bahwa impian harus diraih setinggi mungkin. Beberapa siswa saling merangkul. Dengan seragam batik biru lengkap dengan atribut, mereka semua tampak seperti gelombang laut. Sena dan kelima sahabatnya juga merangkul satu sama lain.
Tangis haru menyelimuti lapangan. Mereka bahagia, tapi juga harus merelakan segalanya untuk kembali melanjutkan pendidikan. Setelah diadakannya apel perpisahan sambil mendengarkan pidato dari Bapak Triangga, selaku Kepala Sekolah SMP Perwira Jaya, kini mereka harus menerima bahwa perpisahan akan tetap menyapa. Beberapa siswa mulai berjongkok sambil mengucapkan kata perpisahan untuk teman seperjuangan.
Baik laki-laki maupun perempuan, semuanya tidak bisa membendung air mata, termasuk Sena sendiri. Dirinya harus kembali merasakan kehilangan. Bu Lina---walikelas 9D---turut menghampiri untuk memberikan semangat dan selamat kepada anak didiknya, walaupun sesungguhnya beliau merasakan kesedihan yang amat mendalam.
"Bu Lina," gumam Sinta. Anak kelas 9D yang mendengar pun langsung memberi ruang untuk walikelasnya.
"Selamat ya! Maaf Bu Lina cuma bisa mendampingi perjuangan kalian sampai disini, selebihnya akan Bu Lina bantu dengan doa restu. Kalian juga harus tetap semangat! Jangan mentang-mentang walikelasnya bukan saya lagi, kalian jadi malas-malasan. Satu lagi, kalau nanti sudah betah di sekolah baru, jangan lupa sama Bu Lina. Oke?"
Tidak ada yang menjawab. Bahkan murid yang biasanya heboh kini hanya terdiam menahan tangis. Melihat mata Bu Lina yang mulai berkaca-kaca, Sena mencoba untuk tetap tersenyum. Namun, tak lama setelah itu dia pun menunduk. Sesungguhnya ia benci suasana ini. Dimana dia harus menangis di hadapan orang banyak. Berkali-kali ia coba untuk tidak meneteskan air mata, tetapi hal itu hanya semakin menyakitinya. Kiki menggenggam tangan Sena mencoba untuk saling menguatkan.
"Jangan nangis dong, Bu," ucap Sinta sambil berusaha menahan air matanya.
"Haha, iya deh," sahut Bu Lina sambil mengusap air mata.
Antasena mengalihkan pandangan menuju ke hall. Disana sudah sepi, para guru yang tadi berada disana sudah mulai terjun ke lapangan. Ada yang ikut menangis, ada juga yang sedang asik membuat video dokumentasi. Saat ia berdiri dan berniat mengajak sahabatnya kesana, ia mematung. Tak lama setelah itu, tangisnya pecah, ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Kiki yang melihat reaksi Sena itupun ikut berdiri dan memanggil namanya untuk memastikan apa yang terjadi.
"Sen?" tanyanya.
"Itu ...."
Pandangannya langsung menuju pada seseorang yang Antasena maksud. Ia lupa, bahwa sahabatnya itu tidak hanya akan kehilangan teman-temannya, melainkan seseorang lagi, "Fano."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Jumpa
Short StoryKita hanya akan berlabuh di jalur yang berbeda, kemudian akan bersua di titik temu yang sama; Jadi, sampai jumpa! © christlaurn | Sampai Jumpa, 2022 note: cerita ini saya persembahkan khususnya untuk sobat putih biru tercinta