iii. cekrek

23 8 8
                                    

Antesena sudah membasuh wajahnya berkali-kali, tapi kenapa raut mukanya justru jadi begini? Matanya juga masih merah. Astaga menakutkan. Ia menoleh pada Kiki, wajah sahabatnya itu malah membuatnya terbahak. Baru kali ini Sena melihat Kiki menangis.

"Muka gua gini amat."

"Biasalah, muka-muka sengsara."

Keduanya kembali tertawa bahkan sampai napasnya tersendat-sendat. Mereka berdua tidak sedang di kamar mandi, tetapi masih setia di depan Laboratorium IPA lama. Kebetulan di sana ada keran. Jadi keduanya tidak perlu berjalan dan merasakan aroma mencuat khas dari kamar mandi. Beberapa pengguna kamar mandi tidak mengerti kata bersih.

"Woy!"

Bak kakak-beradik, mereka berdua menoleh secara bersamaan. Tampaklah Sinta sedang berjalan menghampiri keduanya. Awalnya baik-baik saja, tetapi Sinta menautkan alis kala melihat mata dua sahabatnya itu sedikit memerah. "Nangis mulu, cemen!" Kiki yang mendengar itupun langsung menatap Sinta sengit. Sena menyimak di sebelahnya, akankah terjadi pertempuran antara uke-seme tidak jelas ini? Ah, tidak, itu hanya ungkapan saja. Karena dulu salah satu dari keduanya mengklaim dirinya sendiri sebagai uke-seme. Sinta mengaku dirinya seme, Kiki pun begitu. Hal itu tentu membuat Sinta langsung berkata seperti ini, "Nah biasanya yang ngaku-ngaku itu uke."

Biarlah, Sena tidak peduli. Kini dirinya hanya menunggu timing yang tepat untuk kembali ke ruang kelas menemui Nabila daripada menjadi obat nyamuk atas pertikaian rumah satwa ini.

"Daripada nggak nangis, nggak punya perasaan."

Sudah pasti akan terjadi pertengkaran sengit ini. Sena berusaha untuk tetap diam, agar tidak merusak suasana yang mulai memanas ini. Tenang saja. Perdebatan ini tidak akan bisa membuat pertemanan mereka terlibat perang dingin. Beberapa menit lagi, lalu mereka akan kembali bersama.

"Dahlah apaan sih? Malu diliatin adik kelas," kata Sinta sambil menunjuk ruang kelas 8E dengan dagunya.

Lab IPA lama memang tampak dari jendela kelas 8E. Apapun yang sedang terjadi disana, kemungkinan besar mereka melihatnya. Bisa saja sedari tadi mereka menyimak semuanya dari awal. Oh gosh! Dari awal, itu artinya sejak Sena dan Kiki duduk berdua, kedatangan Pak Fian, lalu sekarang Sinta. Iya sudahlah mau apalagi.

Kesedihan yang kini sedang dialami bukanlah semata-mata hanya untuk mengisi acara perpisahan, tetapi sesungguhnya semua ini natural. Ketika upacara perpisahan ini berlangsung, perasaan menjadi tidak karuan. Sakit yang dirasa mulai masuk hingga merasuk ke palung jiwa. Air matalah yang dapat mendeskripsikan segalanya. Memangnya kalian pikir, air mata ini buatan minyak telon?

"Ngomong-ngomong, kenapa tadi nangis lagi? Matamu sembab gitu."

Sena dan Kiki menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak bisa menceritakan apa yang diucapkan Pak Fian tadi, karena pasti nasihat itu tidak akan nge-jleb lagi. Mereka juga tidak mau setelah dijelaskan nanti, Sinta hanya akan menjawab dengan 'owalah' saja. Sakit sekali. Lantas mereka harus menjawabnya bagaimana?

"Nangis apa? Ngik ngok doang daritadi woi," respon Sena sambil pura-pura tertawa.

"Halah, ngik ngok. Orang dari tadi gue mantau dari kantin."

"Dih, mata-mata."

"Apa sih?!"

"Hidup kok ribut mulu."

"NAPA GAK SENENG?!"

Sena terperanjat. Kedua pasang mata itu menatapnya. Demi neptunus, kenapa jadi mengerikan seperti ini? Memang salah ia berbicara seperti itu. Mereka memang cukup kejam, teman. Jadi, berhati-hatilah. Sinta dan Kiki akan tampak kompak saat sedang berjulid. Setelah berlama-lama di sana, mereka memutuskan untuk kembali ke kelas.





























Suasana kelas kini berbeda dari sebelumnya. Kelas yang senyap sudah tak lagi ada, perkumpulan satwa mulai liar seperti biasa. Antasena menghela napas lega. Setidaknya ia tidak akan lagi menguras air mata. Nabila duduk bersama dengan Mina dan Tania, Nita dan Farah sibuk bermain ponsel di bangkunya masing-masing, lambe turah 9D kini sedang menonton film. Bagaimana keadaan murid laki-laki? Cukup menghebohkan. Mereka terlihat sedang berburu aib untuk dibagikan di grup kelas.

"HAHAH!"

Tawa Nita langsung membuat ketiganya menoleh. Mereka menatap dengan penuh tanda tanya.

"Buka grup coba."

"Astaghfirullah, Melly ternistakan."

Coba tebak gambar apa yang dikirim oleh makhluk-makhluk kurang ajar itu? Betul, apalagi jika bukan foto sang sekretaris kelas yang diedit oleh Nabila dengan filter instagram. Korban hanya bisa tabah. Hal ini sudah biasa terjadi sebelumnya. Tidak hanya Melly, sudah banyak korban dari anak 9D.

"Heh, iseh do kelingan rak seng awakdewe foto bareng pas classmeeting?"

"Seng sempakmu ketok?"

"Udu anying! Sing gawe menara kursi kae lho," ujar Rangga sambil berusaha mengingatkan teman-temannya.

Tidak butuh waktu lama, seisi kelas langsung mengingat momen tersebut. Era classmeet memang penuh keceriaan. Walaupun tidak menang, mereka bisa mengukir kegembiraan dengan cara lain, yaitu dengan membuat menara Eiffel ala siswa 9D dengan kursi seadanya.

Kelas kembali dipenuhi tawa. Seru juga mengingat masa indah kala itu. Mereka bersenang-senang dan bergembira, tanpa peduli apa yang akan terjadi pada saat semester genap dimulai. Mereka tidak tahu akan adanya virus yang menyerang negeri hingga berakhir pada belajar di rumah selama dua minggu. Ah bukan, lebih tepatnya dua tahun.

"Meh dibaleni opo ora seng kui?"

Semua mata langsung menatap Rangga tajam. Sudah gila dia. Baru saja lulus, mau membuat masalah lagi. Jangan kalian pikir membangun menara kursi itu aman damai, tidak. Pak Prabu tiba-tiba saja datang dengan peluit milik beliau. Sangat menakutkan. Untungnya mereka sekelas sudah mengabadikannya lebih dulu. Hahaha.

"Dudu sing gawe menara kali," lanjutnya setelah paham dengan reaksi para temannya.

"Oalah."

"Yowes, ayo fotbar!" Seisi kelas mulai beranjak keluar kelas menuju panggung baca dan mulai menata diri. Formasinya hampir mirip dengan foto dua tahun lalu. Anak laki-laki berdiri di belakang, perempuan duduk di mulut panggung, dan sisanya duduk di bawah. Seperti biasa, Antasena memilih untuk duduk di bawah.

Setelah dirasa formasi cukup rapi dan bagus, kini mereka tinggal mencari bantuan fotografer dadakan. Tak butuh waktu lama, Rama sudah datang membawa adik kelas entah siapa. Ia duduk di samping Sena. Adik kelasnya itu mulai memberi aba-aba.

Cekrek.

Selanjutnya, mereka mulai berfoto dengan gaya. Bisa ditebak, gaya yang digunakan kalau tidak jempol pasti salam dua jari. Maklum hampir seisi populasi itu mati gaya.

Dua .... Satu .... Cekrek.

"Siji meneh, Dek!"

Kini perkumpulan satwa itu mulai bertingkah nyeleneh. Hasilnya sudah pasti aib semua. Yang masih waras paling cuma beberapa anak saja, lainnya sudah tidak karuan lagi. Ada yang tiduran, cosplay mulut bebek, mrongos, merem terus mulutnya ditarik ke bawah, senyum tapi duh nggak tahu lagi deh.

Adik kelas yang melihat itupun agak sedikit menampakkan raut wajah bingung, tapi dengan segera ia memencet tombol kamera dan akhirnya tugas dia selesai. Rama menghampirinya dan mengucapkan terima kasih. Ia memerlihatkan foto-foto tadi pada teman-temannya. Mereka semua sontak tertawa kala melihat foto terakhir yang menampakkan kumpulan aib disana, ditambah kembalinya sebuah penampakan yang disponsori oleh Rangga.

Sebuah kamera mulai mengarah pada kumpulan anak 9D. Juru kamera mulai memfokuskan lensanya. Foto ini tentu akan menjadi kenangan bagi sekolah karena pernah memiliki kelas yang tidak biasa.

Cekrek.

Sampai JumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang