iv. prahu layar

25 8 6
                                    

Hari ini tentu pulang lebih awal. Namun, bukan untuk kelas sembilan, karena mereka harus lebih dulu berkumpul di taman baca untuk mendapat informasi. Mereka duduk satu kelas dua banjar; laki-laki di depan dan perempuan di belakang. Informasi yang disampaikan kali ini berbeda. Bu Dina mengingatkan kembali kepada anak-anak kelas sembilan untuk acara spesial yang akan diadakan hari Sabtu, malam Minggu. Memangnya itu acara apa?

Special Day adalah acara yang dibuat khusus untuk merayakan kelulusan angkatan 2022 SMP Perwira Jaya.

Pada acara ini pula beberapa anak kelas sembilan sudah menyiapkan sebuah persembahan yang akan ditampilkan pada malam harinya. Untuk adik-adik kelas juga ada yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Lantas, sampai mana persiapan anak-anak kelas 9D? Mari kita simak bersama.

"Kita sepakat mau pensi apa?"

"Sing lanang manut wae, asal 9D tampil wes ngono."

"Mengko nek sing ditampilke ora sesuai keinginan, misuh-misuh."

Iya itu benar sekali. Di dalam kelas ini, perempuan selalu salah di mata anak laki-laki. Maka dari itu, kesepakatan bersama sangatlah diperlukan.

"Nyanyi aja gampang," kata Melly.

"Nyanyi wes pasaran," sahut Bima.

"Pake alat musik." Semua mata sontak mengarah pada Sena. Goblok banget dia tiba-tiba nyeplos begitu, emangnya alat musik darimana? Gitar di rumah saja bukan punya dia. Melihat teman-temannya menatap seperti itu, dia pun menggeleng, "Nggak deh, nggak jadi. Lagian waktunya mepet."

Sinta mengerutkan dahi. Itu ide bagus, hanya saja tidak ada yang berbakat dalam musik di kelas ini. Ah, tidak. Mungkin ada, hanya saja mereka menyembunyikannya. Kalau Sena katanya sih bisa sedikit, tapi kalau disuruh tampil belum berani. Biasalah anak itu; mau tapi malu. Namun, apa yang dikatakan Antasena ada benarnya juga. Waktunya mepet, tapi bisa saja kalau ada yang sudah tahu cara bermain musik. Minimal gitar sama piano.

"Bisa aja. Asal yang udah bisa main musik itu mengajukan diri ...," Sinta melirik Sena sekilas, "walaupun cuma bisa sedikit."

"Sin, kita nggak ada properti."

Ketika bendahara mulai angkat bicara, disitulah pembahasan akan cuan dimulai. Mereka tentu tidak bisa membeli alat musik begitu saja, menyewa saja mereka masih kurang mampu. Lantas mereka mau berharap pada siapa?

"Sudah dirembuk mau menampilkan apa saat pentas nanti?" Semua murid kelas 9D menoleh ke arah pintu. Satu-satunya harapan mereka sudah ada di sana,

Bu Lina.































"Ide kalian bagus, tapi ...."

"Piano sekolah, apa boleh digunakan untuk pentas, Bu?" tanya Rama.

Satu alat musik yang ada di sekolah mereka hanyalah keyboard. Walaupun nanti sudah dipinjami, tidak ada yang bisa memegang alat musik tersebut.

"Memang kalian bisa mainnya?"

"Dikit."

Jangan kalian pikir Bu Lina bisa mendengar itu, tidak! Antasena hanya menjawabnya dari dalam hati saja, 'kan sudah dibilang kalau dia itu mental yupi. Nolak karena malu, dengan ending penuh penyesalan. Sebagai gantinya, dirinya harus memikirkan ide lain. Beberapa lagu mulai terbesit dalam benaknya. Namun, hanya satu yang menarik minatnya. Coba lihat, mau bilang saja dia panas dingin begitu. Memang aura seorang guru itu dapat menciutkan nyali, menurut Antasena.

"Nyanyi lagu Charlie Puth aja."

"Apa?"

"See you again."






























Sejujurnya Sena masih ragu mengusulkan lagu milik penyanyi berasma Charlie Puth itu. Bukan apa, tapi menghafal lagu Inggris bisa dibilang susah-susah gampang. Susahnya ya ada di lirik, harus hafal dan bagus lagi kalau cara pengucapannya baik. Gampangnya itu kalau sudah hafal.

Jadi, nanti hanya ada beberapa murid saja yang ikut terlibat. Karena sisanya memilih untuk menjadi dokumenter. Mana ada dokumenter sebanyak itu? Maksimal dua sampai tiga oranglah. Lha ini separuh lebih. Sekarang masalahnya itu cuma satu, mau latihan dimana? Kalau di sekolah bukan kejutan namanya. Para penyanyi ini pun berdiskusi mengenai tempat latihannya. Siapa saja sih penyanyi dari 9D ini? Sudah tentu Bima, Dava, Alisa, Kiki, Nita, Sinta, dan Sena.

"Kita mau latihan dimana?"

"Kalian udah tau lagunya? Kalau belum mending dihafalin dulu, minimal denger lagunya. 'Kan nggak mungkin juga latihan padahal kita sendiri belum tahu," kata Sena.

"Mck! Lagian aku kok dikatutke toh? Sakjane ki Hasan wae."

Kalian pasti tahu bukan siapa yang berkata demikian? Betul, Bima. Anak itu memang tidak pernah bisa tenang jika tidak bersama dengan Hasan. Bestie banget. Sebelas duabelas sama Pak Soekarno dan Moh Hatta. Bedanya ada yang selalu mengaitkan mereka dengan hal yang tidak-tidak.

"Muni wae nek pengen karo Hasan," Sinta kini yang angkat bicara.

"Opo sih, ora!"

"Bimmie-Sannie, kawaii."

Bima menoleh. "Opo, Sen?"

Antasena diam membisu, lalu melirik pada Sinta, Nita, dan Kiki. Ketiga sahabatnya itu melotot. Bisa-bisanya berkata seperti itu saat ada Bima. Tomlol. Satu detik kemudian ia hanya bisa tertawa.

Hal itu tentu membuat dirinya teringat ketika berada di dalam kelas dan melihat betapa eratnya persahabatan antara Bima-Hasan. Belum lagi jika ada momen tiga serangkai yang biasanya bersama dalam suka duka.

Walaupun menjelang puncak kelulusan, kapal masih tetap menaungi laut satwa 9D ya.

Sampai JumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang