ii. sepatu

48 7 1
                                    

Para murid sudah kembali memasuki kelas sekitar sepuluh menit lalu. Ruang kelas yang biasanya ramai dengan tawa, kini berubah senyap. Seisi penghuni kelas membisu, kadangkala terdengar sesenggukan dari segala penjuru. Sinta, Farah, Sena, Nabila, Nita, dan Kiki semuanya melamun. Tak ada satupun yang membuka suara.

Padahal tujuan utama dikumpulkannya seisi kelas adalah untuk mengurangi kesedihan. Tidak ada satupun yang mau bertingkah macam-macam, mereka hanya meletakkan kepala di atas meja, melamun, dan ada yang memejamkan mata. Bu Lina juga sudah kembali ke ruang guru.

"Assalamualaikum. Loh, kok sepi sekali? Makhluk-makhluknya----"

"Lagi sedih, Bu. Tolong jangan diganggu dulu."

Semua mata tertuju pada Yusuf, ternyata anak itu tidak benar-benar tertidur. Mendengar respon tersebut, Bu Fatma tersenyum. "Yawis, maaf. Selamat ya buat kelulusan kalian. Semoga kedepannya semakin lebih baik lagi. Bu Fatma mau lanjut keliling dulu," kata beliau. Selepas kepergian guru konseling dari kelas, beberapa mulai terdengar mengobrol dengan teman sebangkunya, termasuk Sena yang kini mulai bangkit dari kursi dan melangkah keluar kelas.

Sinta menoleh ke bangku Kiki, ia memberi kode agar dia ikut menemani sahabatnya itu. Tanpa berbasa-basi, gadis yang kerap disapa 'Oki' itupun segera menyusul Sena. Ia bisa melihat si mungil itu berjalan ke tengah lapangan.

"Sen, mau kemana?"

"Lab IPA lama."

Antasena duduk di koridor menghadap langsung ke lapangan basket, Kiki pun ikut duduk di sebelahnya. Keduanya terdiam untuk beberapa saat, hingga Sena kembali bersuara.

"Sebentar lagi kita bener-bener bakal jauh dan nggak bisa lagi duduk berdua disini. Jadi, gua sengaja kesini waktu tahu lo nyusul tadi. Gua nggak tahu nantinya bakal bisa ketemu kalian lagi dalam waktu deket atau nggak, karena posisi gua juga jauh dari sini. Keinginan gua sih simple aja, kita jangan sampai lost contact. Bisa nggak begitu?"

"Lo sendiri bisa nggak, jauh dari Fano?" Gadis berambut pendek itu menoleh perlahan dan menatap Kiki yang kini juga menatapnya. Ia menghela napas. Kenapa bocah itu justru berbalik menanyakan hal yang seperti itu? Bukannya menjawab malah membuatnya semakin resah.

Namun, saat pandangannya kembali menuju pada lapangan basket, sekelebat ingatan masa lalu mulai terputar dalam benaknya. Ia tersenyum tipis, "Ki, lu masih inget waktu kita pertama ketemu?"

Kiki ikut tersenyum, "Oh tentu!"

Antasena terkekeh sejenak. Memang betul apa kata orang-orang, jangan pernah menilai seseorang hanya dari penampilan atau kesan pertamanya saja. Buktinya dulu saat pertama kali dia melihat Kiki, Sena mengira temannya itu pendiam, tapi faktanya justru semakin dekat dirinya bisa melihat kurangnya kewarasan pada satu sahabatnya itu. Akan tetapi, itu bukanlah suatu masalah baginya. Dengan memiliki sahabat seperti mereka, ia tidak akan pernah merasakan kesepian dalam hatinya.

"Lo masih inget nggak? Waktu jamnya Kak Nova, ada uji kefokusan," ujar Sena sambil sesekali mengingatnya.

Seorang guru memasuki kelas 7A. Seisi kelas membisu melihat postur dan ekspresi tegas dari guru yang ada di depan mereka.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Perkenalkan saya Kak Nova. Saya disini menjadi pelatih paskibra, pembina pramuka, dan petugas perpustakaan."

Antasena menatap Kak Nova dengan seksama. Kalau dilihat-lihat wajahnya agak familiar, mirip seperti Om-nya. Hanya saja Kak Nova memiliki kulit yang lebih cerah. Ia juga bertanya dalam hati, memangnya berapa usia Kak Nova, sampai beliau masih dipanggil 'Kak' hingga saat ini. Pada awal pertemuan dengan Kak Nova, kelas mereka diberitahu sikap siap saat duduk. Suara tepukan paha dan hentakan kaki para siswa menggema.

Kadang suara tawa juga menjadi backsound ketika sedang berlatih. Kurangnya kekompakan dan berbagai hal biasanya memancing para siswa untuk tertawa. Saat melatih kefokusan, lebih banyak hal lucu lainnya.

"Pegang mata!" Semua murid memegang matanya.

"Pegang siku!" Beberapa siswa kebingungan karena mereka sempat lupa dimana letak siku mereka.

"Pegang telinga temannya!" Ada yang malu-malu ketika hendak melaksanakan perintah dari Kak Nova. Tepat disaat inilah seisi kelas 7A dipenuhi kegembiraan dan tawa.

Kiki menjentikkan jari. "Oh yang itu, inget!" Mereka berdua pun tertawa terbahak-bahak.

"Sering banget gua bilang 'rasanya baru kemarin' sampai berkali-kali tiap inget sama kalian. Memang semuanya itu cepet banget berlalunya, perasaan baru----nah tuhkan baru dibilang!" Sena memukul pelan bibirnya sendiri.

Sejujurnya, baik Kiki maupun Sena paling tidak suka membahas hal seperti ini. Pasti suasananya akan terkesan menyedihkan. Bagaimana tidak? Mengingat memori lampau itu adalah hal yang paling mengharukan, apalagi di situasi menjelang perpisahan seperti sekarang ini, sudah paket komplit.

Keduanya kembali terdiam dalam lamunan masing-masing. Antasena menatap kosong lapangan basket, sedangkan Kiki tengah memainkan batu dengan sepatunya.

"Hayo! Lagi ngapain?"

Antasena berdecak kesal. Siapa orang yang tega mengejutkan seseorang di saat sedang seperti ini? Merusak suasana saja. Namun, ketika ia mendengar Kiki menyebut sebuah nama, dirinya langsung menoleh.

"Astaghfirullah, Pak Fian. Ini kami sedang bersedih, Pak."

Guru yang dipanggil Pak Fian itupun tersenyum, lalu ikut duduk menemani kedua muridnya. "Sedih itu boleh, tapi jangan sampai lupa bahwa kita juga harus bahagia. Saya tahu betul apa yang kalian semua rasakan sekarang ini, pasti belum rela, betul 'kan? Mau bagaimanapun namanya perpisahan itu akan tetap ada, toh kalian juga sudah tahu, bahkan sudah siap sejak jauh-jauh hari. Coba sekarang saya tanya, nanti saat sudah masuk SMA apa saja yang mau diganti baru?"

Kiki melirik ke bawah, "Sepatu. Soalnya sepatu saya ini sudah peyot."

Ketiganya reflek tertawa. Pak Fian menarik napas sebelum kembali membuka suara, "Oke, sepatu. Kalau kalian nanti beli sepatu baru, sepatu yang lama mau diapakan? Dibuang, dilupakan? Jika benar begitu, saya harap hal serupa tidak terjadi pada pertemanan kalian."

Sejurus kemudian, Sena merasakan matanya kembali panas. Ia tidak berani untuk menatap gurunya bahkan teman di sebelahnya. Ia merasakan seseorang menepuk pundaknya. "Oiya, congratulations! Selamat atas kelulusannya!"

Menunggu Pak Fian beranjak dari sana cukuplah dinanti oleh Sena. Bukan berniat untuk mengusir, tapi sekarang dia sudah tak bisa menahan bendungan air matanya.

Alhasil ia menangis, lagi.

Sampai JumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang