Ketika bel sekolah berbunyi, siswa-siswi SMP Perwira Jaya mulai berbaris di lapangan basket. Antasena benar-benar kesal saat ini. Bagaimana tidak, kelas sembilan sampai sekarang hanya beberapa anak saja yang turun ke lapangan. Berbeda dengan adik-adik kelasnya yang kini mulai rapi dengan barisannya.
Antasena tidak sendirian, dia selalu bersama dengan Kiki kemana pun dia hendak pergi. Niat sebenarnya memang tidak jauh dari kata modus.
"Lama banget mereka ini."
"Biasalah," sahut Kiki.
Ketika mata Sena menuju ke depan, tangannya langsung cekatan meraih lengan Kiki---untuk memberi kode. Sahabatnya ini tidak perlu lagi bertanya 'hah-heh-hoh' karena sudah sangat paham dengan kode yang diberikan. Benar saja, saat dia menatap lurus ke depan, Kiki langsung memberikan tatapan jahil pada Sena.
"Cie, Fano."
"Sssssttt."
Kiki terkekeh. Antasena memang begitu orangnya, suka nyari-nyari kalau tidak ada, giliran sudah di depan mata cuma senyum-senyum.
Butuh waktu lama untuk mengumpulkan siswa di lapangan basket, sampai harus didatangi dulu baru mau keluar kelas. Saking manjanya, Pak Ahmad pun harus membawa gagang sapu untuk menggiring mereka satu-persatu. Kelas sembilan memang beda. Usai seluruh siswa berbaris, apel pagi pun dimulai. Diawali dengan informasi penting, lalu diakhiri dengan amal. Mereka sudah hafal.
Hari Senin kali ini cerah, bisa dibilang mataharinya sangat terik. Untung saja Antasena sudah membawa topi, kalau tidak matanya bisa kesilauan. Walaupun begitu, cahaya tetap membuatnya kepanasan.
"Panas betul," keluh Kiki.
"Suruh hujan aja," kata Sena.
Kiki menggeleng. "Gua nggak bawa jas hujan, nanti kehujanan."
"Sak karepmu, Ki."
Kiki hanya meresponnya dengan cengiran. Sinta dan Sena hanya membuang napas.
Informasi yang didapat hari ini tidak banyak, hanya pengumuman khusus untuk siswa kelas sembilan; diantaranya ada jadwal untuk cap tiga jari dan pengumuman seputar wisuda. Untuk kelas tujuh dan delapan hari ini akan dibagikan undangan pembagian rapor yang diadakan besok. Padat sekali. Selesai apel pagi, seluruh siswa diminta untuk membersihkan ruang kelas masing-masing. Namun, Sena tiba-tiba mendengar seseorang memanggil namanya.
"Sena!"
Ia menoleh dan mendapati Pak Teguh berjalan ke arahnya. Antasena memejamkan matanya sejenak. "Kamu ditunggu sama Bu Lina di ruang guru."
"Oh iya, Pak. Ini saya mau ngembaliin topi ke kelas du---"
Pak Teguh menunjuk Sinta, "Minta tolong topinya Sena dimasukkan ke tasnya ya."
Sinta mengangguk, ia pun mengambil topi yang berada di tangan Sena. Awalnya gadis itu hendak menolak, tapi mengingat teman-temannya yang super maksa dia pun mengurungkan niat. Antasena pun mengajak Kiki untuk ikut bersamanya. Di sepanjang jalan menuju ruang guru, entah mengapa rasanya jadi sangat lama. Ingin membuka obrolan pun dia tidak tahu harus membicarakan apa.
"Suaramu bagus lho, kenapa nggak dari dulu saja nyanyinya?"
Antasena sedikit terkejut, kemudian terkekeh. "Baru kemarin maunya."
Pak Teguh ikut tertawa, sedangkan Kiki hanya bisa tersenyum. Ia benar-benar tidak tahu harus merespon seperti apa. Namun, dia menemukan satu pertanyaan jitu.
"Cuma suka suaranya aja, Pak? Orangnya enggak?"
Pak Teguh berhenti. Pandangannya mengarah pada Kiki yang kini ikut terdiam. Antasena yang melihat situasi ini pun membuang muka. Kiki ini ngomongnya suka ceplas-ceplos. Namun, respon Pak Teguh ternyata bisa membuat Antasena diam seribu bahasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Jumpa
ContoKita hanya akan berlabuh di jalur yang berbeda, kemudian akan bersua di titik temu yang sama. Jadi, sampai jumpa!