21

463 49 10
                                    

Belum juga mie di mangkok Ninh Najma habis, wajah gadis itu sudah memerah. Keringat dingin juga mulai memenuhi kening dan pelipisnya. Kelopak matanya mengerjap-ngerjap cepat. Duduknya juga sedikit terlihat tak tenang.

Amran yang berada tepat di depannya langsung membukakan kaleng susu yang tadi dia beli. Ia lantas menyodorkannya ke arah Ning Najma. "Minum ini dulu!" ujarnya kemudian sambil menatap gadis itu.

"Kamu kenapa, Na?" Mauli baru sadar akan keadaan sahabatnya saat melihat Amran menyodorkan susu untuk Ning Najma. Ia menyentuh lengan gadis di sampingnya pelan.

Tanpa berpikir panjang lagi, Ning Najma pun menerima susu dari tangan Amran. Cepat ia meneguknya. Meski begitu, ia masih saja menerapkan tegukan yang biasanya sang babah ajarkan. Tiga kali teguk saja, berhenti sejenak lalu meneguknya lagi sebanyak tiga tegukan juga.

Doni dan Mauli mulai ikut-ikutan cemas melihat Najma. Sementara Amran mengernyit tak percaya, cara minum Ning Najma persis seperti dirinya. Seperti ajaran Abinya dan juga kebiasaan Rosulullah. Baru kali ini dia bertemu dengan wanita muda yang ikut menerapkan cara minum seperti itu.

"Aku harus ke toilet!" Ning Najma bangkit dari duduknya dan langsung bergegas mencari toilet.

"Aku antar!" Mauli mengikutinya.

"Dia kenapa? Kepedesan?" tanya Doni bingung.

Amran menggeleng. Firasatnya tidak mengatakan seperti itu.

"Apa jangan-jangan dia punya alergi?" gumam Amran.

"Hah? Alergi apa? Ini kan bukan warung seafood." Doni mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Sebentar!" Amran ikut-ikutan bangkit dari duduknya dan bergegas menuju kasir. Ia bertanya tentang bahan apa saja yang dipakai untuk membuat mie di sana.

Sampai Amran selesai bertanya, dua wanita yang tadi ke toilet juga masih belum datang. Doni mengangkat alis, meminta jawaban Amran. Pria di depannya menggelengkan kepala.

"Nggak ada, kecuali kita pakai toping seafood."

Amran mencoba mengingat-ngingat. Kejadian barusan seperti dejavu untuknya. Tapi kapan dan di mana dia pernah mengalami hal seperti itu.

"Masa iya dia alergi mie?" Doni ikut-ikutan bergumam.

"Aaah, mie. Bisa jadi."

"Aneh, ih. Mana ada orang alergi mie, ada-ada saja."

"Ada. Aku punya sodara yang alergi mie sejak kecil. Bahkan pamanku alergi anggur."

"Hah? Yang bener?"

Amran mengangguk yakin. Doni malah terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.

Setelah menunggu sepuluh menitan, akhirnya dua gadis itu pun keluar dari toilet. Tapi keadaan Ning Najma sudah tidak terlihat baik-baik saja. Wajahnya memucat, satu tangannya memegangi perutnya, sementara satu tangannya yang lain menutupi bibirnya dengan tisu. Mauli pun tengah berusaha memapah tubuh sahabatnya itu. Dua pria yang tadi duduk langsung menyusul mereka.

"Apa kamu alergi mie?" tanya Amran.

Ning Najma mengangguk lemah.

"Sudah kuduga. Sebentar, aku ambil mobil. Don! Bisa tolong bawakan barang-barangku di kantor?"

"Oke!" Doni mengangguk setuju.

Mereka berdua berlari keluar dari warung. Kejadian itu juga tak luput dari beberapa pasang mata yang ada di sana. Mauli terus saja memapah Ning Najma hingga keluar lalu mendudukkanya di kursi tunggu yang biasanya digunakan abang-abang gojek menunggu pesanan mereka. Beruntung Amran tiba di sana jauh lebih cepat.

JEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang