Bel kamar berbunyi tepat saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Masih dengan bathrobe yang membalut tubuh serta handuk kecil yang kugunakan untuk mengeringkan rambut, aku membuka pintu.
Darren menerobos masuk begitu saja dan segera melemparkan tubuh ke atas ranjang. Wajahnya tampak lesu, setelan yang dia kenakan juga sudah kusut acak-acakan. Kantung mata hitam yang menggantung di bawah kelopak matanya menandakan dia tidak tidur semalaman.
"Kau dari mana?" Aku bertanya. Hanya untuk basa-basi lebih tepatnya.
"Bukan urusanmu," jawabnya datar. Aku mengembuskan napas kesal.
Merasa tidak sepantasnya aku bertanya lebih jauh, kuteruskan saja kegiatan yang tadi sempat tertunda. Hair dryer di meja rias kugunakan untuk mengeringkan rambut, kemudian menyisirnya. Setelah itu, aku mengambil baju ganti yang tadinya akan kupakai di kamar, kubawa ke kamar mandi.
Mana mungkin aku memakai baju di depan Darren, kan? Meskipun dia tengah tidur terlentang sambil menutup mata sekarang, aku yakin dia belum benar-benar tidur.
Aku keluar kamar setelah mematut diri di depan cermin dan memastikan tak ada yang kurang dari baju yang kukenakan. Begitu menyembulkan kepala melewati pintu, aku terkejut. Tak disangka, Darren sedang duduk di tepi ranjang menikmati sarapan.
"Kapan makanan itu datang?" tanyaku.
Darren menghentikan kegiatannya, menatapku sesaat, lalu menjawab, "Saat kau di toilet."
Aku bergumam sebagai jawaban. Meletakkan handuk kecil di gantungan dekat lemari, lalu ragu-ragu ikut mendudukkan diri di ranjang, agak menjauh dari Darren.
"Makanlah. Setelah itu kita pulang. Aku harus bekerja."
Aku terperangah mendengar ucapannya. Dia akan berangkat kerja? Bukannya dia tidak jadi tidur barusan? Memangnya tidak mengantuk?
"Kau mau langsung masuk kerja?"
"Ada hal yang harus kukerjakan secepatnya. Lagi pula, kita tidak berbulan madu, jadi aku tidak perlu mengambil cuti," jawabnya santai, dengan nada datar seperti biasa. Tangannya masih sibuk menyuapkan makanan ke mulut.
Aku kembali bergumam. Memang benar. Kami tidak berbulan madu. Berarti aku juga tidak perlu cuti kuliah.
"Tapi kau tidak mengantuk? Aku pikir kau belum tidur semalaman."
Dia menatapku sesaat dengan sorot mata yang tak bisa kuartikan, kemudian menjawab singkat. "Bukan urusanmu."
Aku menghela napas. Memang benar, kami sudah berjanji untuk tidak mencampuri urusan satu sama lain. Dan Darren sedang melaksanan janjinya. Tak ada yang salah.
Perlahan, kuraih nampan lain di meja lalu mulai menyantap sarapanku. Kami menikmati makanan kami masing-masing dalam diam.
***
Pagi ini udara cukup dingin. Daun-daun mulai berguguran dari pohon-pohon di tepi jalan menandakan sebentar lagi masuk musim gugur. Kueratkan coat yang kukenakan saat angin yang berembus semakin kencang.
Aku melangkah memasuki gerbang kampus sembari mendekap beberapa buku yang tak muat dibawa dalam tas. Beberapa teman yang mengenalku menyapa, yang kubalas dengan senyuman ringan.
Rambut panjangku semakin menari-nari tertiup angin seiring dengan langkahku yang semakin cepat. Sudah pukul sembilan. Kelasku pukul sembilan lebih lima. Aku tidak boleh terlambat.
"Naomi ...," panggil seseorang dari arah belakangku. Aku menghentikan langkah lalu menengok, demi melihat siapa yang sedang berlari mendekat.
"Hai, Andrew," sapaku datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Merah Sang CEO
Storie d'amore[21+] Follow dan vote sebelum membaca :) * Naomi Rosalina Mahuze terlahir dari keluarga berada. Ayahnya seorang pengusaha properti yang sukses, sementara ibunya pemilik restoran ternama di kota. Namun, semua itu hilang saat satu per satu badai di ke...