The Home.

93 18 2
                                    

Sejak itulah mereka menjadi dekat sekarang, tidak begitu heran jika setiap hari Yuna terus menerus menunggu sosok itu di pinggir jalan.

Rela membiarkan kulitnya terkena sinar matahari, hampir mengelapkan kulit alisnya namun ia tidak pernah perduli tentang itu.

Yang ia perduli, tentang keselamatan lelaki itu. Setiap kali lelaki itu melintas jalan raya, tiada satupun yang hendak membantunya selain dirinya.

Maka dari itu, Yuna menghampiri jalan raya, mengukir bola matanya ke sana sini untuk menunggu seseorang. Menunggu di bawah matahari bukanlah sesuatu yang sering terjadi terutama pada gadis-gadis.

Biasanya, gadis-gadis seperti Yuna lebih mementingkan kecantikan dan kulit mereka daripada menunggu orang mereka sayangi.

Tidak heran mengapa banyak gadis sering disakiti karena mereka— entahlah, mungkin karena takdir yang menentukan semuanya.

Lelah? Lelah berdiri di pinggir dalam berjam-jam? Yuna tetaplah Yuna, sang empu yang keras kepala itu memaksakan dirinya meskipun tumit kakinya terasa sakit. Apalagi ia memakai sepatu tinggi.

Yuna mengembangkan senyumannya ketika melihat sosok itu akhirnya menampakkan dirinya, dengan pakaian sederhana; koas putih polos dan celana panjangnya terutama kaca mata hitamnya benar menyita perhatian gadis-gadis.

Satu persatu gadis melewatinya, melihat dengan penuh rasa kagum, memujinya secara berbisik apalagi tersenyum kuda di sana.

Yuna hanya menatap mereka sinis, rasa kesal itu muncul secara tibanya, mendekatkan dirinya pada pemuda itu yang tersentak saat sebuah tangan menyelip diantara tangannya lalu digenggam.

“Sudah lama menungguku ya?” Jisung tersenyum rapuh, merasa dirinya tidak pantas dipanggil laki-laki karena membiarkan wanita sendirian di antara orang-orang ramai. “Maaf.”

“Tidak usah meminta maaf, aku baik-baik saja, lagipula aku baru saja tiba.”

Jisung hanya bisa mengangguk, walau dirinya ragu dengan penjelasan Yuna. Karena tangan gadis yang digenggamnya itu sangatlah panas. Menandakan ia menunggu dirinya di atas sinar matahari cukup membuat mereka terasa panas.

“Hari ini kamu tidak ke tempat kerjamu?” Tanya Jisung sebagai pembukaan pembicaraan antara mereka sambil menyeberang jalan.

Yuna terukir senyum, “hari ini aku bilang pada ayahku bahwa aku ingin bercuti sehari saja, untungnya dia setuju.”

“Oh ya, kita naik mobil punyaku, ada sesuatu tempat kamu harus tau!”

Nada yang senang dan semangat itu menghangatkan hatinya dan menjadi sebab ia tersenyum lebar. Tangannya mula bergerak di udara, untuk mengelus kepala gadis itu.

Yuna, gadis itu peka dan segera mendekatkan kepalanya di telapak tangan besar itu, membiarkan Jisung mengusap kepalanya.

“Apakah jauh dari sekitar sini?” Jisung bertanya, karena sang abang akan menjemputnya.

“Kurasa jauh dari sini, maka itu aku membawa mobil. Apakah kamu tidak bisa berjalan jauh dari sekitar sini?” Yuna mendongak, menatap wajah tampan itu.

Jisung menyungging senyum sesalnya, “maaf ya,” permintaan maaf itu langsung diucapkan begitu saja.

Pemuda itu bisa merasakannya, merasakan gadis itu merasa kecewa.

Luar dugaannya, Yuna tersenyum, menggenggam erat tangannya, “jangan meminta maaf, seharusnya aku meminta maaf karena mengajakmu tiba-tiba.”

“Seharusnya aku harus mengatakan padamu terlebih dahulu sebelum memutuskannya.”

Rain, Umbrella And You • Jisung Yuna ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang