The Prologue

432 45 8
                                    

HUJAN kini menangis lebatnya menyebabkan makhluk hidup kesusahan mencari tempat berteduh, ada yang menerobos hujan atau rela menunggu hujan reda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HUJAN kini menangis lebatnya menyebabkan makhluk hidup kesusahan mencari tempat berteduh, ada yang menerobos hujan atau rela menunggu hujan reda.

Tetapi laki-laki itu masih tetap menunggu...bukan menunggu hujan mereda. Akan tetapi menunggu sosok seorang menerangi hidupnya yang sungguh gelap; membawanya keluar dari dunia kegelapan.

Laki-laki tampan itu mengadahkan kepala. Mengulas senyum kecil, tangannya meremas pegangan payung sementara ia masih rela menunggu, menunggu dan menunggu hingga harinya kini mulai gelap.

Tidak pernah ia lakukan seperti ini, sungguh ini pertama kali ia rela menunggu gadis itu. Jelas sekali gadis itu benar-benar menepati janjinya—dan kini hilang bagaikan ditelan bumi.

Jisung mengigit pipi dalamnya, menatap kosong pada payung merah itu dengan tatapan sendu. Jisung mencoba berpikiran positif, selalu memikirkan gadis itu pasti sukar keluar dari rumahnya.

Pasti. Jisung sangat pasti.

“Park Jisung? Kamu benar Park Jisung?” Laki-laki nama Jisung itu tertoleh-mendapati seorang kakek tua merupakan pemilik toko roti di belakangnya.

“Benar, ini Park Jisung,” sahut Jisung menatap dalam pada kakek tua itu kini mengubah ekspresinya menjadi senyum dipaksakan. Dia tanpa henti menatap Jisung tanpa melihat tangannya mengambil sesuatu dari sakunya.

“Ini...untukmu,” ucap kakek itu menghulurkan sebuah buku cukup lama dan sedikit robek di sana. Jisung menerima dengan raut wajah bingung juga tidak mengerti. Mengapa kakek tua ini memberikanya buku cukup lama ini padanya?

“Maaf, tapi ini benar untukku? Kakek tidak salah orang, bukan?” Jisung menatapnya.

Kakek tua itu tertawa, seakan Jisung baru saja melontarkan lelucon yang membuatnya tawa. Jisung menyunggingkan senyum canggung; agak sedikit aneh melihat kakek tua ini.

“Ah, aku yakin aku tidak salah orang. Dan pasti kamu sangat kenal pemilik buku itu,” tutur kakek tua itu menepuk pundaknya pelan. “Jaga dirimu baik-baik ya.” Tambahnya lalu menyeberang ke jalan kaki dengan payung melindungi tubuhnya.

Jisung memandang punggung kakek itu sejenak barulah ia pandang buku di tangannya. Meski agak sedikit kotor, Jisung meniup debu berada di atas buku sampul. Lalu ia membuka halaman sampul itu dan terpaku melihat nama terpapar di atas kertas itu.

Won Yuna.

Pemilik buku itu...

Jisung sangat mengenalinya! Bahkan setiap hari mereka bertemu di sini dan toko roti di belakangnya menjadi saksi mata mereka! Percayalah, jantung Jisung berdebar tidak seperti biasanya—seakan ada orang meremas jantungnya berkali-kali dengan erat.

Jisung membasahi bibirnya sebelum jari-jari menyentuh kertas untuk membalikkan kertas untuk melihat isi tulisan seterusnya. Bahu Jisung naik-turun, anak matanya gemetar melihat tulisan tersebut. Dan kemudian air matanya meluruh bagaikan air sungai tidak henti seakan tiada hari esok untuknya.

Jisung mengigit bibir bawahnya, membiarkan cairan bening masin itu masuk ke dalam bibirnya. Jisung memejamkan matanya, berjongkok dan buku berada di genggamannya terlepas dari genggaman.

Buku itu terbuka luas, tertulis di sana dengan halaman terakhir...

Aku menerangi dirimu di dalam kegelapan karena aku sentiasa di sisimu.
Karena aku adalah matamu, dan kamu adalah tubuhku.
Kita bersatu..

Jisung menutupi wajahnya dengan menangis terisak membiarkan orang-orang memandangnya dengan pandangan aneh, sedih dan iba. Jisung tidak menduga ini terjadi, orang yang berhasil membuatnya tertawa, senyum kini pergi tatkala dirinya bisa melihat dunia.[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rain, Umbrella And You • Jisung Yuna ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang