Menerima Keadaan

610 80 71
                                    

Aku berjalan tanpa arah, hanya melangkahkan kakiku tanpa tujuan.

Dalam benakku aku berharap zhan ge berlari mengejar ku, memanggil namaku dan menghentikan langkah ku. Sebanyak apapun aku berharap, berulang kali aku menoleh ke belakang tapi tidak ada, bahkan orang-orang lain pun tidak ada. Hanya ada aku di sini, sendirian.

Langit jingga mulai diselimuti hitamnya malam. Di kejauhan, samar-samar aku mendengar Guntur mulai menderu, sepertinya akan turun hujan. Aku ingin singgah, tapi tidak ada tempat untuk bersinggah. Bangunan-bangunan tinggi juga kecil yang berdiri kokoh di sebelah kiri dan kanan pejalanan sudah tutup.

"Kafe" batinku

Satu-satunya tempat yang terpaksa aku tuju adalah kafe tempat ku bekerja.

Sampai di depan kafe, aku memandang pintu berkaca tebal itu menampilkan sebuah nametag berukuran sedang bertuliskan "TUTUP". Ah bener, hari ini dan dua hari kedepan kafe tempat ku bekerja ditutup sementara, haha aku lupa, aku tertawa bodoh, hampir menangis. Kenapa? kenapa aku harus dilahirkan jika hanya untuk dibuang?.

Sebutir demi sebutir besar air jatuh mengenai kulitku. Angin malam mulai berhembus menusuk kulit. "Dingin", karena memakai baju kaos lengan pendek dinginnya malam serta rintikan hujan membuat ku sedikit menggigil. Aku berhenti di bawah sebuah pohon yang cukup rindang, kebetulan di bawah pohon itu tersedia sebuah kursi panjang. Mendaratkan bokongku untuk duduk, aku merasa lega setelah hampir empat jam berjalan tanpa henti.
Angin malam semakin kencang, ranting pohon tempat ku berteduh melambai-lambai ribut. Sejujurnya aku takut, rasa takut membuatku semakin menggigil. Tapi tidak apa-apa aku hanya berharap tidak ada orang lain lagi yang datang menyakiti ku, cukup dia saja, cukup zhan ge saja. Mengingatnya membuat hatiku terasa perih.

Mengingat aku hanya membawa beberapa helai baju saja, membuat ku mengurungkan niatku mengambil Hoodie di dalam ransel. Hujan semakin deras, tiupan angin membuat hujan datang padaku, aku menengadah ke langit menatap gelapnya malam, percikan air membasahi wajahku, menyamarkan air mata yang jatuh lagi.

Tidak ada orang kan? Jadi buat apa malu. Nafasku mulai memburu, dadaku terasa berat. Jika terus ditahan aku benar-benar akan mati.
Tak sanggup lagi menahannya, suaraku yang pasti membuat telinganya telah sakit selama ini, mulai terisak. Aku menangis histeris, mengeluarkan semua beban ya aku simpan untuk diriku sendiri. Berharap angin setidaknya membawa sedikit rasa sakit ku, dan hujan membersihkan sedikit luka yang tidak berdarah ini.

Walau sudah tidak deras, rintik-rintik hujan masih jatuh, tubuhku basah aku menggigil kedinginan. Rasanya berdiri saja aku sudah tak mampu tapi aku tidak bisa juga hanya duduk disini, aku butuh sesuatu yang hangat setidaknya pakaian kering. Tapi dimana aku mendapatkannya semua pakaianku basah.
Sekarang sudah larut toko-toko pakaian sudah tutup.

Berjalan dengan keadaan tubuh mengigil, tulang-tulang ku terasa ngilu, aku hampir jatuh terduduk di basahnya aspal beberapa kali.

"Bodi" aku mendengar suara cemasnya yang bergetar.

Aku menangis begitu keras melupakan semua rasa sakit ku dalam dekapannya.
Tubuhku terasa semakin lemah saat dia memelukku dan mengucapkan begitu banyak kata 'maaf'.

.

.

.

Delapan bulan berlalu, perut Li Qin jie sekarang terlihat begitu besar, bayi mereka laki-laki, zhan ge memberitahu ku, ia terlihat sangat bahagia saat mengatakannya. Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya.

"Apa aku bahagia?"

Tentu saja aku bahagia, melihat orang yang aku cintai bahagia. Ia membawa ku pulang saja aku sudah sangat bahagia. Aku tidak tahu bagaimana keadaanku jika zhan ge tidak datang mencari ku waktu itu.

Zhan ge juga tidak membenciku, waktu itu dia marah karena ia tidak suka seseorang mendekatiku, begitulah ungkapnya, aku tidak tahu untuk alasan apa dia melarang ku mendekati siapapun kecuali orang-orang yang benar-benar ia percaya. Aku hanya bisa menuruti kemauannya atau jika tidak aku akan sedih, karena dibenci oleh orang yang begitu aku cintai.

Zhan ge juga beberapa kali akan tidur dikamar kami. Ia datang padaku ketika Li Qin jie tidak ingin di ganggu. Hal itu membuat aku merasa aku hanyalah pelampiasannya semata, aku sungguh tidak berarti untuknya. Tida apa, aku baik-baik saja, aku justru merasa senang 🙂.

"Bodi" panggilnya

"Hmmm" Gumam ku pelan

"Aku ingin melakukannya lagi" ucapnya dengan suara berat tepat di telingaku.

"Apa zhan ge datang padaku hanya ingin melakukan itu" aku bertanya

"Kenapa, kau tidak suka?" Tanyanya, nada suaranya mulai berubah, terdengar marah.

Aku menahan lengannya yang melingkar di perutku saat dia akan bangkit dari tempat.

"Tidak, lakukan sesuka hatimu" jawabku tersenyum manis. Manis bagi mereka yang tidak tahu jika sesuatu yang begitu menyakitkan ku tahan sendirian.

"Yibo aku harus kembali, xiao kecil pasti mencari ayahnya sekarang. Ucapnya mulai bangkit dari tempat tidur.

"Baiklah" kataku tanpa ingin melihat kepergiannya. Sampai pintu kamar tertutup kembali. Air mataku jatuh lagi. Ini sangat menyakitkan.

Tidak, sungguh aku baik-baik saja jangan khawatir. 🙂

.
.

"Yibo,  mau kemana nak" suara lembut ibuku memanggilku. Salah satu alasan aku tetap tinggal adalah ibuku. Aku tahu dia bukan ibu kandungku. Aku terus berpura-pura tetap tidak tahu akan hal itu.
Bagaimanapun ibu yang selalu ada di sampingku saat aku menangis, saat aku lelah dia selalu ada di saat aku membutuhkan teman. Itulah mengapa aku tidak ingin jauh darinya. Dan terus berpura-pura baik-baik saja agar tidak membuatnya terluka.

Iya, dia pasti terluka jika anaknya terluka kan?

Entahlah aku juga tidak tahu. Tapi akan ku anggap begitu. "Karena aku juga anaknya" ucapku tanpa tahu malu.

"Aku akan keluar sebentar Bu" sahutku tersenyum lembut padanya.

Kulihat ia memicingkan matanya, seperti mencurigai ku. Ia seperti tahu sesuatu tentangku. Tapi tidak mungkin. "Kemana?" tanyanya lagi.

"Rumah sakit"

"Lagi" ucapnya seolah tak percaya

"Hmmm"

"Temanku masih koma, aku harus menjenguknya " ucapku lirih

"Biar ibu temani" ucapnya, terlihat raut khawatir di wajahnya yang masih terlihat cantik diusianya yang hampir lima puluh, tiga tahun lagi.

"Tidak bisa Bu, temanku sudah menjemput ku" ucapku kecewa, dan berharap ibu tidak memaksakan diri untuk ikut. Sejujurnya aku tidak memiliki teman yang sedang koma dirumah sakit. Aku ke rumah sakit karena memang ingin memeriksakan diri saja. Dan aku tidak ingin satu orang pun yang tahu tentang keadaanku yang sebenarnya, terutama dia. Jadi aku terpaksa berbohong tentang hal yang sama setiap kali aku ke rumah sakit.

"Baiklah" ucap ibuku kecewa.

.
.

Setelah berjalan cukup jauh dan melelahkan, aku akhirnya tiba di rumah sakit terdekat, rumah sakit yang akhir-akhir ini sering aku kunjungi. Baru saja kakiku akan menaiki satu anak tangga, aku melihat zhan ge dan Li Qin jie berdiri tak jauh dariku. Lagi-lagi aku harus bersembunyi, jika tidak ingin ketahuan.

Hampir satu jam lamanya aku menunggu, akhirnya mereka pulang, barulah aku masuk.

Zhan ge terlihat begitu mencintai Li Qin jie. Tentu saja, karena wanita itu istrinya ibu dari putrinya. Ia memperlakukan Li Qin jie bagaikan seorang ratu. Siapapun yang melihat keharmonisan rumah tangga mereka pasti akan merasa iri tak terkecuali diriku.

Perutku yang terasa tegang membuatku mengalikan pandangan ku dari sepasang suami istri itu. Kenapa semua ini terjadi padaku. Orang yang aku cintai terlihat begitu bahagia bersama wanitanya dan aku harus menangis dengan masa depanku yang akan sangat sulit nantinya.

TBC.

Kebetulan gabut jadi di lanjutin hehe







I'm In Pain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang