Flora tidak tahu apa yang harus ia lakukan sejak bokongnya mendarat diatas kursi, tepat dihadapan Danial. Tubuh Flora mendadak beku, lidahnya kelu, ini pertama kalinya ia duduk dengan jarak sedekat ini dengan Danial selama tiga tahun menjadi murid pria itu di sekolah. Sungguh, tidak pernah terbayangkan dihidup Flora kalau ia akan melewati adegan duduk berdua dengan guru datar itu.
Tidak jauh berbeda dengan Flora, Danial pun hanya diam mengamati gerak-gerik Flora. Terkadang senyum samar terlintas di bibir Danial ketika melihat Flora yang tampak gugup, namun senyum langkanya hanya sekilas sebelum wajahnya kembali datar.
"Saya nolak dijodohin, Pak. Jadi batalin aja perjodohannya." tak betah diam-diaman. Flora memilih untuk buka suara lebih dulu, hal itu berhasil membuat Danial tertegun dan wajahnya mendadak tak suka.
"Perjodohan ini melibatkan dua pihak, saya dan kamu. Jadi nggak bisa dibatalkan dari suara satu pihak saja tanpa ada diskusi dan pertimbangan kita berdua, apa lagi kamu asal mengambil keputusan tanpa alasan yang jelas."
Satu alis Flora terangkat, tanpa alasan yang jelas katanya?!
Flora menegakkan tubuhnya menantang, lengkap dengan wajah penuh kesal, "Alasan saya jelas, karena pria yang dijodohin sama saya itu bapak. Guru saya sendiri!" ucap Flora menggebu-gebu. Ia menekan ucapannya di kalimat akhir. Tidak peduli meski di sekolah Danial adalah seseorang yang ia hormati, tapi saat ini siatuasinya berbeda. Jangankan menghormati, tersenyum ke Danial saja Flora ogah.
Danial menghela napas, berusaha tenang menghadapi gadis remaja yang emosinya belum stabil itu. "Memangnya kenapa kalau menikah dengan guru sendiri, Flora? Selama saya dan kamu sama-sama single, itu sah-sah saja." jelas Danial dengan penuturannya yang tenang.
"Kalau saya punya pacar gimana?"
Bibir Danial mengantup, wajahnya tidak menunjukkan perubahan ekspresi yang signifikan, tetap datar seperti biasa. Tapi, Flora cukup peka untuk menyadari tatapan Danial yang semakin tajam.
"Kamu punya pacar?" tanyanya dingin.
Flora menggigit bibir bawahnya, kepala gadis itu perlahan menunduk, merasa takut karena aura Danial mendadak suram dan menyeramkan. Percis ketika menatap murid yang tidak mengerjakan tugasnya.
"Punya?" tanya Danial sekali lagi. Dalam kamus bahasa wanita, yang ia tahu diam tandanya 'iya'.
Flora mendongak, ia menelan ludah mendapati wajah Danial yang semakin tak bersahabat, "Rencananya saya baru mau nyari sih, Pak." jawab Flora.
Danial menghembuskan napas lega. Ia memejamkan matanya sesaat, lalu membukanya kembali dengan tatapannya yang lebih sejuk dari sebelumnya.
"Kenapa harus nyari pacar, kan sudah dicarikan calon suami sama almarhumah bunda kamu."
Sepasang alis Flora praktis bertaut, mencerna semua ucapan Danial yang selalu menantangnya membuat Flora berpikir kalau sepertinya pria itu menerima perjodohan mereka.
"Saya harap kamu memikirkan ulang keputusan kamu itu. Saya tahu perjodohan ini membuat kamu sedikit tertekan, tapi tolong pikirkan orang tua kita. Saya ingin memenuhi keinginan orangtua saya, seharusnya kamu pun begitu."
Dengusan sinis keluar dari hidung bangir Flora, gadis itu memutar bola matanya mendengar penuturan Danial. Dari bicaranya saja sudah menunjukkan seberapa dewasanya pria itu, jika diamati sedari tadi Danial juga cukup sabar dan pandai mengontrol emosinya. Sangat bertolak belakang dengan Flora yang masih kekanakan dan emosinya tidak stabil.
"Bukan sedikit tertekan pak, tapi saya sangat tertekan dengan perjodohan ini! Pokoknya bapak harus menolak dijodohkan sama saya!"
* * *
Ting Nong!
"Iya sebentar," teriak Flora sambil berlari kecil menuju pintu utama. Wajahnya sedikit bete karena kedatangan sang tamu mengganggu aktivitasnya yang sedang berdandan. Ini malam minggu dan Flora ada janji mau nonton bioskop sama Arkan dan Marko.
"Pak Danial?" Kerutan tercetak jelas di dahi Flora ketika mendapati Danial berdiri di depan pintu rumahnya.
"Assalamu'alaikum," ucap Danial.
Flora yang sedang terhipnotis dengan penampilan kasual Danial malam ini segera tersadar, "Waalaikumsalam, Pak."
"Papa kamu ada di rumah, Flo?" ujar Danial.
"Gak ada, tadi sore bilangnya mau ke rumah tante. Ada apa ya, Pak?" Berhubung mereka sedang tidak membahas soal perjodohan, jadi sikap Flora sedikit melunak ke Danial.
"Begitu, ya?"
"Lagian bapak gimana sih, harusnya kalau mau datang itu kabarin Papa saya du-" belum sempat ucapannya selesai, otak Flora langsung berjalan. Apa Danial datang untuk mengadu ke papanya karena ia menolak dijodohkan?
"Bapak mau ngapain ketemu Papa saya?!"
Danial tertegun melihat perubahan cara bicara Flora yang mendadak meninggikan oktaf suaranya.
"Saya mau silaturahmi, Flo."
Flora menyenderkan bahunya ke daun pintu, raut wajah serta tatapan matanya menatap Danial curiga, "Tumben. Saya baru pertama kali ngelihat bapak bertamu ke rumah saya."
Danial menunduk lalu tersenyum sekilas, sangat tipis sampai Flora tidak menyadarinya, "Saya sudah beberapa kali bertamu ke rumah kamu, bahkan semenjak almarhumah bunda dan almarhum Kakak kamu masih ada,"
Flora hanya manggut-manggut saja, percaya dengan apa yang dikatakan Danial. Karena semenjak memasuki sekolah dasar hingga lulus SMP ia tinggal bersama Oma dan Opa nya di Bogor, sebelum memutuskan untuk tinggal bersama Papanya.
"Omong-omong, saya nggak dipersilakan untuk duduk?" tanya Danial sambil mengangkat satu alisnya.
"Di rumah saya lagi nggak ada orang, Pak, nggak enak sama tetangga kalau lihat saya bawa cowok masuk ke rumah malam-malam." jelas Flora.
"Saya nggak bilang duduk di dalam, di sini aja juga boleh." ujar Danial, matanya melirik ke kursi kayu yang tersedia di tepi teras.
Garukan tangan di tengkuk gadis itu cukup menandakan kalau Danial berhasil membuat Flora malu, "Ya sudah duduk aja, tunggu Papa pulang. Itu sih kalau bapak mau nunggu, soalnya saya nggak tau papa pulangnya jam berapa." tuntas Flora, usai melihat Danial duduk dengan nyaman di kursi kayu jati itu Flora segera masuk kembali ke dalam rumah—kalau saja suara Danial tidak menginstruksi langkahnya.
"Flora, bisa temani saya duduk sambil ngobrol di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dikejar Cinta Guru Idola ; Oh Sehun
FanfictionKehidupan Flora yang menoton berubah kacau ketika usianya mendekati sembilan belas tahun. Katanya, usianya sudah legal untuk menikah sebab mendiang sang bunda telah memiliki pria pilihan untuknya di masa depan. Sayangnya, Flora menentang wasiat dari...