2. Bayu Andirga Praya

0 0 0
                                    

Tandai jika menemukan typo.

Jangan lupa votenya guys!

Selamat membaca:')

~~~🌸~~~

.

..

...

Drttt Drttt

Getaran yang ku rasakan dari saku rok lipitku menghentikan sejenak aksi mulutku yang mengunyah onigiri isi tuna dari bentoku.

Tanganku yang bebas merogoh saku dan mengeluarkan handphone bermerk Samsung dengan warna rose gold. Ku pandang sejenak nomor yang familiar lalu menerima panggilannya.

"Halo"

"Aeera, nanti pulang lebih awal ya. Papa hari ini pulang dari Milan. Mama mau kamu belanja untuk masak malam ini"

Kudengarkan suara orang yang kusebut mama selama lima belas tahun belakangan. Mulutku menanggapi dengan lembut namun terasing, sama seperti caraku melayani pelanggan kafe.

"Iya, ma. Mau beli apa?"

Orang di seberang membacakan banyak barang dan aku diam-diam mengingatnya. Setelah itu dia mengucapkan banyak pesan lalu menutup teleponnya.

Aku menatap layar ponsel yang hitam dan kembali melanjutkan makan. Taman kampus siang ini sepi. Lebih banyak anak yang pergi ke kantin untuk makan dan sebagian lagi pergi ke perpustakaan karena sebentar lagi ujian akhir semester.

"Aeera, kamu disini ternyata. Wis tak golek nang ngendi-ngendi padahal."

Dia Ratna Widyasari. Teman yang sering meresahkan ku dengan tingkahnya. Banyak kelakuannya yang ajaib dan membuatku pusing.

"Ojo meneng wae. Aku pingin cerita. Tadi aku lihat kak Bayu di perpustakaan. Dia lagi baca buku, keliatan serius banget. Wih, cakep tenan"

Nah, dia naksir Bayu. Kakak tingkat yang berumur pendek. Jangan tanya kenapa, kemarin sore aku melayaninya di kafe. Kemungkinan besar dia akan mati karena ketiban pot keramik dari lantai dua kampus.

Sejak berita kecelakaan yang terjadi tujuh tahun yang lalu, semua kembali normal. Normal dalam artian pelanggan kafe ku tetap mati tak lama setelah berkunjung. Jarak paling lama antara kunjungan dan waktu kematian tidak akan lebih dari dua puluh empat jam.

Awalnya aku penasaran bagaimana anak itu lolos, tapi anak itu seolah menghilang begitu saja. Rumah anak itu kosong. Pokoknya jangan tanya kenapa aku bisa tahu rumahnya. Aku tidak mau menjelaskannya!

"Aeera, aku lagi ngomong lho! Kamu kok malah ngelamun sih?" keluh Ratna saat aku terbenam dalam pikiran.

Aku menoleh lalu berusaha membuat mataku memancarkan permintaan maaf yang tulus. "Eh, maaf, Na. Kamu tadi bilang apa?"

"Udah ah. Mending masuk kelas aja, udah mau jam mata kuliah" ajak Ratna yang kelihatannya sudah terlanjur kesal karena tak kudengarkan ceritanya. Dia langsung bangun dari posisi duduk dan pergi duluan meninggalkanku.

Aku mengangkat bahu tak peduli dan mengikutinya. Tidak peduli apa yang ia pikirkan tentangku, aku tidak membutuhkannya menjadi temanku.

Sudah terlalu banyak orang yang menjadi temanku sejak ratusan tahun yang lalu dan kehilangan satu tidak akan memberi pengaruh apapun pada hidupku.

.

..

...

Bruk...

Buku kajian pragmatik tebal yang dilempar ke mejaku dengan kasar menggangguku yang sedang duduk tenang sembari membaca. Gerakan tanganku membalik lembar kertas berhenti.

Dying Café Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang