Sembilan Belas

439 93 18
                                    

Jeongguk

Dua canang dan dupa dihaturkan Jeongguk di atas tanah berumput, Puputan Klungkung. Sebagai bentuk penghormatan pada kedua kakaknya yang tertidur dimakan masa. Entah sampai kapan tega meninggalkan sang adik yang sudah tidak tahu arah jalan pulang. Keterdiaman Jeongguk menumpuk rasa bersalah sekaligus bimbang. Apa kiranya yang bakal dilakukan kedua kakaknya semisal masih ada disini dan menyaksikannya linglung begini. SeokJin mungkin mengomel habis-habisan dan beberapa kali pasti mengatai Jeongguk dengan kalimat yang tidak jauh-jauh dari besar kepala, egois, dan otak keras seperti batu. Kakak keduanya beda lagi. NamJoon biasanya cuma diam atau membantu melerai Jeongguk kalau ia terlibat di satu masalah yang entah sudah berapa ratus kali Jeongguk sebabkan. Laki-laki itu lebih memilih tersenyum dan memberikan beberapa petuah ketika pikiran Jeongguk sedang tidak ada jernih-jernihnya. Soal apa saja. Yang paling sering adalah bagaimana nanti kalau Basuki sudah bisa dilepaskan sendiri tanpa bimbingan kedua kakaknya yang lain. Sebuah penjelasan yang tidak pernah Jeongguk sangka bakal kejadian. Tidak terprediksi. Terlalu terburu-buru.

Masa menariknya menjauh dan berlindung di bawah nama Cokorda yang masih menaunginya. Sudi memberinya rumah dan mampu bernegosiasi dengan orang-orang Belanda itu supaya Basuki baiknya kembali ke Bali, ke tempat kelahirannya dan duduk di singgasana yang memang sudah disediakan jauh-jauh hari.

Dibanding dengan sekarang, Jeongguk lebih hilang arah di pertengahan tahun 1900 an. Kalang-kabut dan tidak tahu harus kemana. Rose tidak boleh jadi satu-satunya alasannya untuk hidup di dunia. Jeongguk mengais dan mencangkul sisa-sisa kesadarannya sebagai Basuki yang Agung. Mungkinkah ia masih dibutuhkan atau bakal jadi benda antik saja dan masuk museum sebagai peninggalan Klungkung yang tersisa. Bukankah ia juga punya kemungkinan berakhir jadi dukun dan justru dimanfaatkan darahnya oleh segelintir orang tidak bertanggung jawab, kalau saja Ajik Taehyung tidak memintanya pulang dan menetap saja di Bali.

Siluet Taehyung bersimpuh di samping Jeongguk dan sempat menghalangi matahari yang hendak berpulang. Tubuh itu tidak bergeming. Lama. Tidak pula bercakap basa-basi seolah tahu ini dan itu. Ada sesuatu yang anak ini pikirkan, kira Jeongguk. Sudah terlampau lama ia hidup dan bertemu dengan berbagai macam watak manusia. Di antaranya bakal bersikap hampir seratus delapan puluh derajat jika dihadapkan dengan masalah serius yang sukar mereka bicarakan. Persis seperti anak tengil di sampingnya.

"Kenapa ke?" Tanpa menoleh, Jeongguk sempatkan bertanya. Manik mata keemasannya masih fokus pada beberapa macam kembang di atas canang dan satu dupa yang belum habis. Menguarkan aroma wangi menenangkan. Seandainya Jimin disini, mungkin ia mampu menciumi wangi dari ruangan sempit di bawah tanah Puputan.

"Ndak." Kepala berudeng batik itu menggeleng.

"Ke tak tempeleng kalau ndak mau ngomong."

"Jangan, dong." Agaknya Taehyung tahu sifat asli Jeongguk sejak ada di Klungkung. Mungkin sang Ajik yang memberitahu. "Penasaran, ci. Mangku pura dalem bilang apa saja ke ke?" tanyanya akhirnya.

"Ndak ada."

"Bohong."

"Lha, memang ndak ada." Jeongguk menggeleng-geleng seperti tersangka salah tangkap. "Aku cuma disuruh ngayah saja ke Besakih."

"Ke sudah dari zaman kapan ada di Besakih. Turun saja masih barusan."

"Kayaknya itu keputusan paling netral."

"Bilang, nak e. Ke sudah ngayah sering, begitu. Kalau ke disuruh terus-terusan ke Besakih, ya, berarti ke memang ndak diizin buat turun balik kemari." Setengah bersungut Taehyung menanggapi. Dari raut wajahnya yang belum kelihatan berkeringat, ia sudah tampak kepanasan. Terlampau banyak yang dipikir oleh pemuda di tengah umur dua puluh limaan ini. "Jangan sampai ke keluar rumah keseringan, Jeongguk."

DewanandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang