how to know about me : jay

346 57 1
                                    

"Jihan, i said no, then no."

Gadis kecil dengan kuncir kuda itu membiarkan kucing liar yang baru saja di gendongnya. "Cuci tangan kamu, habis itu makan. Ayah udah masakin kamu makan."

"Ayah yang masak atau beli di luar?" Praktis gadis berusia 6 tahun itu merapatkan bibirnya kala melihat reaksi tak suka dari sang Ayah. Bukan tanpa alasan, Jihan tahu sang Ayah memang jago soal dapur, tapi Ayahnya tak mungkin bisa meluangkan waktunya untuk memasak.

Sang Ayah berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Jihan kemudian memegang bahu mungil anak itu, "mungkin selama ini Ayah gak pernah luangin waktu buat masak. Jangankan masak, buat nemenin kamu belajar aja Ayah gak bisa, kan? Tapi kali ini Ayah beneran masak sendiri. Nasi goreng udang kesukaan Jihan, bukan?"

Jihan yang semula takut kini melebarkan senyumnya, "Jihan ngerti Ayah sibuk banget. Ayah sibuk kerja juga buat jajan Jihan, kan? Kenapa Jihan harus marah sama Ayah? Harusnya Jihan berterimakasih sama Ayah karena udah mau besarin Jihan sendirian."

Sang Ayah tertegun mendengar putrinya melontarkan kalimat yang tak mungkin dilontarkan oleh anak yang masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak.

Bisakah Jay memanggil Jihan sebagai putrinya? Bisakah Jay memanggil Jihan sebagai putrinya sedangkan Jay tahu bahwa Jihan bukanlah putri kandungnya. Tapi Jay membesarkan Jihan sejak Jihan lahir ke dunia ini dari rahim sang Kakak.

Tuhan sudah mengambil Ayah kandung Jihan sejak Jihan masih berada dalam kandungan, Tuhan juga mengambil sang Ibu saat Jihan lahir. Sejak saat itu pula Jay berjanji akan menjaga dan membesarkan Jihan seperti putrinya sendiri. Jay tidak mau Jihan merasa kekurangan apapun. Jay bersumpah akan hal itu.

Mereka kini duduk berhadapan di meja makan. Menyantap makanan yang sudah dihidangkan. Jay mulai kehilangan selera makannya kala melihat nama Isa tertera pada layar ponselnya.

"Jihan, Ayah izin angkat panggilan dulu."

Jihan memilih tak menjawab, sudah menjadi makanan sehari-hari jika dirinya tengah menghabiskan waktu dengan Jay setiap beberapa menit Jay akan mendapat panggilan entah dari rekan kerjanya atau dari rekan kencan buta yang diperkenalkan oleh sang Ayah.

"Isa, saya tidak bisa, saya tidak bisa melanjutkan kencan kita. Mungkin sikap saya membuat kamu merasa saya juga tertarik sama kamu, tapi saya hanya bersikap sebagaimana mestinya. Saya mungkin menolak kamu, tapi saya tidak mungkin memaki-maki kamu, kan? Mohon pengertiannya."

Jay tidak ingin berbicara lebih lama lagi, ia menutup panggilan itu kemudian menghampiri si kecil yang tengah menunjukan piring kosongnya sambil tersenyum.

"Anak Ayah udah habisin makanannya? Bisa taruh di wastafel? Biar Ayah yang cuci piring, kamu langsung cuci tangan terus belajar."

Jihan menuruti semua perkataannya tanpa menolak ataupun mengeluh. Jay sangat bersyukur pada Tuhan telah memberikan anak seperti Jihan. Meskipun banyak hujatan yang dihujani padanya saat dirinya memberi tahu pada publik kalau Jihan adalah putrinya, itu tak sebanding dengan Jihan yang tahu kalau Jay bukanlah putrinya. Ia hanya ingin Jihan mengenal satu orang tuanya, hanya dia.

Baru saja menyelesaikan pekerjaan dapurnya, Jay sudah mendapat panggilan lagi dari sekretaris mudanya. "Bang, tolong banget ini, mah. Gue lagi main game di telepon terus sama Bapak lo. Kenapa lo nolak Isa? Cepetan jawab!"

"Berapa kali gue bilang gue gamau, Rik."

Riki terdengar mendesah kecewa, tak sekali dua kali ia menjadi kambing hitam di setiap kencan buta Jay. Entah ia yang mewakili kedatangannya, atau ia yang kena omel akibat Jay yang terus menerus menolak rekannya.

"Gue harus memohon pakai gaya apa, sih?"

"Sekarang masih jam kerja di kantor, gue bakal potong gaji lo. Kesalahan yang pertama lo gak sopan sama atasan lo, gue tau sekarang gue lagi ambil cuti tapi bukan berarti lo bisa seenaknya ngomong informal ke gue sekarang. Jam kerja tetaplah jam kerja. Yang kedua, kenapa lo main game padahal harusnya lo sekarang rapat bodoh, lihat jam!"

"Demi Tuhan gue lupa. Mm.. maksudnya saya lupa. Bos saya yang gila hormat, saya pamit rapat dulu, ya? Jangan kangen, bye Bang Jay sayang."

Jay baru tahu, ternyata selain sang Ayah dan rekan-rekan kencan butanya, Riki juga alasan mengapa akhir-akhir ini dirinya merasa sangat amat tertekan.

CHOICE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang