strawberry moon

318 50 11
                                    

"Jadi Bunda Isa, strawberry moon itu ada di dunia nyata atau engga?" Tanya gadis yang hari ini menggerai rambutnya.

"Strawberry moon itu sebenarnya dari blood moon. Dan blood moon sendiri itu julukan untuk gerhana bulan total. Jadi di dunia nyata ini kita mengenalnya sebagai gerhana bulan total, sayang. Di dongeng, kita ubah blood moon menjadi strawberry moon untuk menyesuaikan pembaca."

"Karena kita anak kecil?" Tanya Jihan polos.

"Tapi sekarang Jihan sudah besar, tuh. Sudah tau maksud dari strawberry moon di dongeng tadi, kan? Berarti Jihan selangkah lebih maju dibanding teman-teman Jihan."

Jihan tersenyum puas, "jadi strawberry moon itu bulan merah? Bukan bulan yang ada strawberry-nya? Duh, Bunda tau? Tadi aku kira dongeng yang dibaca bunda itu tentang bulan berry.."

Isa menggeleng pelan menanggapi gadis yang aktif berbicara itu. Matanya menyisir sekitar mencari sosok yang sedari tadi Jihan tunggu. Sudah 15 menit mereka berada di depan gerbang sekolah namun Jay tak kunjung menjemput Jihan.

"Ayah telat terus, Bunda."

Isa menangkup pipi yang lebih muda kemudian tersenyum manis, "nanti Bunda marahin Ayah kamu. Sabar sebentar ya Jihan, Bunda bakal bikin kamu gak nunggu lagi kalau pulang sekolah."

Yang ditunggu datang sembari berlari kecil menuju Jihan. Ia merapihkan jasnya dan menyamankan kacamatanya. "Terimakasih dan maaf Nona Isa karena telah repot-repot menunggu Jihan."

"Udah kewajiban aku Jay, hitung-hitung latihan, kan?" Jay yang semula menatap Isa penuh hormat kini memalingkan pandangannya ke arah Jihan. "Let's go home!"

"Let's go!"

"Saya permisi, Nona Isa."

Jay menyamakan langkahnya dengan Jihan, menggandeng tangan mungil itu dengan penuh kasih sayang dan mengusapnya pelan.

Sudah menjadi rutinitas Jay mengantar dan menjemput Jihan dengan berjalan kaki. Hitung-hitung olahraga. Kebetulan rumahnya memang tak begitu jauh dengan sekolah Jihan. Tapi Jay selalu berpesan pada putrinya agar tetap menunggu di sekolah sampai dirinya menjemput.

Jay juga keras terhadap pola makan Jihan. Jihan tidak diperbolehkan memakan jajanan yang di jual di sekolahnya. Meskipun lauk dan nasi beli di rumah makan, Jay selalu membawakan bekal untuk Jihan.

Jay juga lebih suka menyetok makanan instan daripada harus membiarkan Jihan mengemil makanan yang di olah di luar. Toh, makanan instan lebih mengenyangkan pikirnya.

Setiap pulang sekolah, Jay akan membiarkannya putrinya makan lalu beristirahat setengah jam. Kemudian ia akan menghampiri sang putri untuk bercerita. Baik dimulai dari Jay yang bercerita soal pekerjaannya di kantor, berakhir dengan Jihan yang menceritakan aktivitasnya di sekolah. Hal-hal kecil seperti ini sudah menjadi suatu keharusan bagi Jay, hal itu bertujuan agar Jihan menjadi lebih dekat dan lebih terbuka pada dirinya di masa yang akan datang.

"Ayah, aku mau lihat strawberry moon. Kapan bulan merah muncul? Apa ada waktu-waktu tertentu? Ayah tau? Aku pengen banget lihat strawberry moon. Gara-gara dongeng yang diceritakan Bunda Isa hari ini, aku jadi suka warna merah."

"Oh, ya? Padahal warna biru lebih bagus."

"Ayah gak bisa menyamaratakan apa yang Ayah suka ke orang lain, gak baik!"

Oke, perlu di catat kini sang putri sudah berada di semester akhir alias sudah akan lulus dari Taman Kanak-kanak. Putrinya bukan anak kecil lagi yang akan menurut padanya. Putrinya akan berbagi pendapatnya dan Jay akan dengan senang hati mendengarnya.

"Iya, gak baik."

"Kalau begitu, biarin Jihan suka warna merah. Warna biru biar jadi kesukaan Ayah aja. Berarti Ayah suka langit?"

"Suka."

"Ayah langit, Jihan bulan merahnya Ayah!"

Jay mengangguk, "my strawberry moon, cantiknya Ayah. Bahkan senyum kamu lebih cerah dari bulan merah, kamu tau?"

Jihan tertawa sebelum memeluk leher sang Ayah. Jihan tak bisa mengukur seberapa beruntungnya ia memiliki Ayah seperti Jay. Meskipun Jay jarang sekali berada di rumah, Jihan tak pernah merasa kekurangan apapun. Jay adalah ayah, ibu, kakak, adik, bahkan rumah baginya.

"Ayah, hari ini Om Riki ajarin satu kata berbahasa Jepang. Ayah mau dengar?"

"Of course."

"Aishiteru."

Jay diam. Bukan karena tak mengerti, ia hanya bingung bagaimana cara menyampaikan rasa sayangnya pada Jihan. Bahkan mengatakan ia mencintainya saja tak akan cukup untuk menggambarkan seberapa besar rasa sayang Jay pada Jihan.

CHOICE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang