[Chapter 1] She is crazy?

18 0 0
                                    

Jakarta, 1 Maret 2022.

Pagi ini cukup mendung, banyak embun yang masih terlihat dengan jelas. Udara dingin disini menusuk hingga persendian. Suara kicauan burung kutilang saling bersahutan.

"Moraa! Ayo sarapan dulu!"

Satu decakan kesal terdengar sangat jelas, memenuhi kamar bernuansa biru langit. Gadis dengan rambut terkuncir satu ini tetap menatap pantulan dirinya di cermin, detik kemudian ia meraih tas ransel birunya dan jangan lupakan dengan tas jinjingnya yang terlihat sangat penuh.

"Moraa!"

"Iya Bunda, sabar dong. Tas Mora juga berat ini," keluh gadis itu di anak tangga terakhir.

Seorang wanita paruh baya tersenyum hangat menyambut puterinya. Ia mengambil satu buah piring lalu mengisinya dengan nasi goreng keju.

"Aduh kamu bawa apa aja sih? Berat banget beban hidup kamu Mora," kekeh pria paruh baya yang duduk di sebelah wanita tadi.

Mora sampai di meja makan, ia meletakkan tas ransel dan jinjingnya di kursi kosong sebelahnya. "Ayah baru sadar? Dari dulu beban hidup Mora juga berat."

Wanita paruh baya itu tersenyum hangat, ia meletakkan piring yang berisi nasi goreng keju itu dihadapan sang Puteri. Tanpa basa basi, Mora langsung menyantap sarapannya.

"Hey, kamu gak boleh bilang begitu Mora. Syukuri saja kesibukanmu sekarang okay? Karena ..."

"Iya Bunda Ernaku tersayang." Mora memotong ucapan Erna - sang Bunda dengan senyuman terpaksa.

Ia sudah lelah dengan semuanya. Memang benar apa yang dikatakan Bundanya, namun untuk kali ini ia benar-benar jenuh.

"Amora, jaga sopan santunmu sayang. Ayah tidak suka kamu memotong pembicaraan orang lain okay?"

Mora yang sedang meneguk susu vanilla nya pun berhenti lalu mengangguk. Ia melanjutkan proses minumnya lalu detik kemudian ia tersenyum hangat. "Okay Ayah, hehe bunda maafin Mora ya. Beberapa hari ini Mora memang lagi jenuh banget sama kegiatan Mora. I am so sorry mom."

"It's okay Mora, bunda paham. Ayo berangkat sekarang, nanti kamu terlambat."

Mora mengangguk, sembari tersenyum. Ia berpamitan dengan kedua orang tuanya dan pergi ke sekolah mengendarai motor kesayangannya.

30 menit kemudian,

Motor Vario 150 hitam milik Mora sudah terparkir rapi. Kini gadis itu sudah berjalan menuju kelasnya, di sepanjang jalan banyak yang menyapa dirinya. Mood pagi ini cukup baik, Mora harap ini akan bertahan hingga nanti sepulang sekolah.

Langkah kakinya membawa diri Mora ke sebuah ruangan khusus. Para siswa sih biasanya menyebut ruangan ini basecamp MPK.

Ruangan itu tidak terkunci, Amora langsung masuk saja. Meletakkan tas jinjingnya di samping kanan sofa cokelat. Waktu menunjukkan pukul enam lebih lima belas. Itu tandanya masih ada cukup banyak waktu untuk dirinya membagikan dresscode.

"Widih Bu ketua udah sampe aja nih, rajin amat Bu!" Sindir salah seorang siswa perempuan dengan rambut sebahu.

Mora memutarkan kedua bola matanya malas. Ternyata, Shiren sudah datang lebih awal daripada dirinya. "Berisik lo Ren, bay the way bantuin gue ngeluarin dresscode ini dong."

Shiren mengangguk, ia beranjak dari duduknya dan mulai membantu Amora menggeledah tas jinjing yang cukup besar itu.

"Ini kan tugas nya sekbid perlengkapan. Kok lo yang bawa sih?" protes Shiren.

Amora menghentikan aktivitasnya, ia meletakkan satu buah plastik berisi baju di sofa. "Iya gue tahu, tapi itu koordinator sekbid perlengkapan lagi kurang enak badan. Ya udah mau gak mau ya gue lah."

Shiren berdecak kesal. Tanpa ia sadari, ia membanting satu buah plastik berisi baju itu. "Ya kan masih ada anggota sekbidnya. Kok lo bego banget sih Mora, heran gue. Lo itu ketua MPK. Posisi lo itu tertinggi di semua organisasi sekolah. Dan lo? Ngurusin masalah dresscode gini? Are you crazy?"

Mora hanya diam. Ia tidak menghiraukan celotehan Shiren yang memang ada benarnya itu. Baginya yang terpenting sekarang adalah urusan dresscode ini selesai.

Tak berselang lama, beberapa anggota MPK lainnya mulai datang ke basecamp. Pagi ini Mora memang meminta mereka berkumpul sebentar. Kurang lebih ada sepuluh orang yang berkumpul di basecamp.

Semuanya duduk di lantai, meja di dekat sofa tadi sudah digeser ke sudut ruangan. Hanya da karpet bulu yang mereka jadikan alas untuk duduk.

Mora melirik sekilas jam dinding di ruangan itu. Waktu menunjukkan pukul enam lebih empat puluh lima. Kini tandanya hanya ada waktu lima belas menit untuk dirinya melakukan koordinasi antar anggota MPK.

"Okay, gue langsung mulai. Untuk sekretaris gimana perkembangan proposal nya? Surat surat undangan serta peminjaman juga bagaimana?" Kini Mora mulai serius.

Dua orang siswi perempuan yang duduk tidak jauh dari Mora pun mengangkat tangan kanannya sebagai intruksi.

"Intrupsi. Untuk proposal sudah jadi tinggal menunggu di tanda tangani oleh pihak sekolah."

"Begitu pula dengan surat-surat peminjaman ataupun undangannya."

Mora mengangguk singkat. Ia puas dengan laporan dua sekretarisnya itu. Kini tatapannya beralih kepada bendahara.

"Untuk dana yang diperlukan bagaimana? Bendahara bisa tolong laporkan progresnya."

"Dana sudah terkumpul, sepulang sekolah nanti uang itu akan kita bagi persekbid untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam event MPK kali ini."

"Good job!"

"Okay, last. Gimana sama kegiatan? Sudah koordinasi dengan OSIS?"

"Sudah. Tapi maaf sebelumnya Mora, ketua OSIS beberapa hari ini akan purna. Bagaimana? Sementara event kita sekitar sebulan lagi, bahkan kurang dari waktu itu."

Mora terdiam. Dia melupakan salah satu program kerjanya. Oh Tuhan bagaimana dia bisa lupa, jika saja Bundanya mengetahui hal ini. Pasti dia akan diceramahi panjang lebar karena tidak bisa membagi fokus antara akademik, ekstrakulikuler, organisasi dan novel.

"Kita adakan pemilihan ketua OSIS. Urus calon kandidatnya sepulang sekolah juga. Setelah itu laporannya kirim ke email gue."

"What the fuck!"

Umpatan itu tiba-tiba terdengar secara jelas dan nyaring di basecamp itu. Mora memejamkan kedua matanya sejenak, dia tahu suara siapa itu.

"Shiren, tolong jaga lisanmu. Kita sedang rapat koordinasi," tegur Mora.

Shiren menggeleng cepat. Ia terlampau kaget. "Gak bisa Mora. Kali ini izinkan gue mengumpat sekeras mungkin disini. Lo gila hah mau ngadain event dadakan? Ini pemilihan ketua OSIS. Seluruh siswa di sekolah berpartisipasi. Dan ini sudah full tatap muka."

"So?"

Tunggu dulu. Hanya kata 'so?' yang Mora lontarkan kala mendengar protesan dari Shiren. Oh sungguh menyebalkan sekali Tuhan.

"Lo pikir persiapannya semudah membalikkan telapak tangan hah? Lo kalau gila jangan kelewatan. Ini event cukup penting dan berpengaruh kedepannya."

"Yeah i know. So, jadi gue harap kalian dan anggota sekbid kalian bisa memaksimalkan persiapan ini. Gue percaya ke kalian. Good job guys! Gue balik ke kelas dulu," ujar Mora setelah berhasil membuat para anggota nya terdiam.

Sepeninggalnya Mora, Shiren menjerit frustasi. Lagi dan lagi Mora membuat dirinya harus berlarian kesana kemari mengurus apapun jika Mora sibuk dengan urusan lainnya.

"Kayaknya kita perlu bawa Mora ke dukun guys. Gila banget dia!" Frustasi Shiren. Ia mengacak rambutnya tadi hingga berantakan.

Salah seorang laki-laki berambut brokoli dengan lesung pipit itu terkekeh. "Santai aja kali Ren, kayak gak tahu Mora aja. Udah kita jalanin aja, lagian proker MPK juga gak sebanyak OSIS kan?"

Give me vote and comment guys!

DermagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang