[Chapter 2] Don't Call me 'Mo'

14 0 0
                                    

"Kayaknya kita perlu bawa Mora ke dukun guys. Gila banget dia!" Frustasi Shiren. Ia mengacak rambutnya tadi hingga berantakan.

Salah seorang laki-laki berambut brokoli dengan lesung pipit itu terkekeh. "Santai aja kali Ren, kayak gak tahu Mora aja. Udah kita jalanin aja, lagian proker MPK juga gak sebanyak OSIS kan?"

"Mata lo kotak! Kita harus nyiapin dua event sekaligus," sungut Shiren dengan berkacak pinggang.

Sangat rumit dan melelahkan.

Lupakan hal itu.

Sekarang, Mora sudah berada di ambang pintu kelasnya. Bel masuk memang belum berbunyi, namun sudah ada seorang wanita bertubuh langsing dan kacamata corak cheetah duduk di meja guru kelas Mora.

Mora memejamkan matanya sejenak sembari menghela napasnya. Ia mengetuk pelan pintu kelas itu.

Tok, tok, tok!

Semua pasang mata tertuju ke arah pintu itu. Sosok Mora berdiri dengan berani dan jangan lupakan senyuman hangatnya.

"Permisi Bu, boleh saya masuk?"

Guru yang sendari tadi sibuk dengan beberapa kertas di mejanya itu pun akhirnya menoleh. Ekspresi wajah yang semua datar berubah kala senyuman cerah terbit. "Eh Mora, ayo masuk. Ah kamu terlambat pasti karena pergi ke ruang MPK dulu ya?"

Mora mengangguk kecil, langkahnya mulai memasuki ruangan kelas itu. Semua teman sekelasnya pasti sudah tahu apa alasan Mora terlambat. Mereka bahkan sudah terbiasa.

"Iya Bu, maaf saya terlambat masuk di jam pelajaran Bu Les. Saya pikir ibu belum masuk ruangan," jujur Mora setelah sampai di depan wanita yang disebut 'Bu Les' itu.

Lestari, guru wanita yang sudah mengabdikan dirinya di sekolah menengah atas Sarwana ini cukup terkenal killer. Namun hal itu pengecualian bagi Mora, ia anak emas dari Lestari. Guru bahasa Indonesia, ia selalu menunjuk Mora untuk maju di ajang perlombaan debat nasional.

Lestari tersenyum hangat, ia menggeleng pelan kala mendengar perkataan Mora tadi. "Tidak masalah Mora, justru ibu yang masuk ke kelas terlalu awal. Silahkan duduk, setelah ini saya akan memulai kegiatan pembelajaran."

Mora mengangguk sembari tersenyum. Ia duduk di samping Fio, gadis berambut pendek dengan poni tipis itu sudah sibuk memberikan warna stabilo ke buku cetaknya. 

"Serius banget lo," tegur Mora sembari duduk di sebelah Fio.

"Serius dalam belajar itu bagus, asal gak jadi babu organisasi." Fio membalas Mora, namun kedua netranya masih terfokus kepada tulisan-tulisan di buku cetaknya itu.

Mora menghela napasnya pelan. Dia tidak marah jika Fio berkata seperti itu, itu memang fakta. Dan kebenarannya sudah teruji. "Ya mau gimana lagi Fi, udah tanggung jawab gue."

Fio mengangguk singkat. Ia juga menatap Mora sekilas. "Lo hebat, bisa bagi waktu dengan baik."

Senyuman lebar itu langsung merekah di wajah cantik Mora. Dengan menepuk dada bagian kirinya, Mora berkata. "Jelas dong, siapa dulu gue? Amora!"

Fio berdesis. Baru dipuji sedikit saja sudah melambung tinggi, dasar Mora.

Mereka melanjutkan proses pembelajarannya seperti biasa. Namun di akhir pelajaran, Lestari memberikan sebuah tugas kepada mereka semua.

"Ibu mau Minggu depan kalian bisa membacakan sebuah puisi ya."

Salah satu siswa mengangkat tangannya untuk bertanya. "Ini tugas kelompok Bu?"

"Seangkatan,"

Gelak tawa kelas itu langsung pecah, mendengar jawaban Lestari. Terlihat dengan jelas wajah guru bahasa Indonesia itu sangat kesal, sementara murid yang bertanya itu malah menggaruk lehernya yang tidak gatal.

DermagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang