[Chapter 4] Tendangan maut

5 0 0
                                    


Hanya Mora lah yang menjadi rumah bagi dirinya sekarang. Meskipun sikap Mora yang tergolong menyebalkan, terlalu berisik. Tapi itulah Mora. Sahabat terbaiknya.

"Heh! Sore-sore jangan melamun Fi, Lo gak mau matcha? Gue buang nih!"

Fio tersadar dari lamunannya, ia segera merampas cup matcha itu dari tangan Mora. Meneguknya hingga habis tak tersisa. Melihat semangat Fio menikmati matcha hangat itu, seulas senyuman Mora terbit.

"Mau balik sekarang atau mau duduk disini dulu Fi?"

Fio menggeleng pelan, ia beranjak dari duduknya sembari sedikit merapikan rok pendeknya itu. "Balik sekarang aja."

Mora mengangguk paham. Mereka pun melanjutkan perjalanan pulangnya. Hari sudah mulai gelap, kini kedua remaja perempuan itu sedang asyik menonton satu buah drama Korea. Di samping kiri dan kanan mereka juga ada banyak cemilan ataupun minuman kaleng.

Tok, tok, tok.

Pintu kamar Mora diketuk secara perlahan, mereka mengalihkan fokusnya sejenak. Saling beradu tatap seolah bertanya 'siapa yang mengetuk pintu itu?'

"Mora. Ayo ajak Fio turun dulu, makan malam sudah siap sayang,"

"Iya bunda!" Balas Mora sembari mendudukkan dirinya di kasur king size empuknya itu.

"Ayo Fi, makan dulu. Bunda hari ini buat steak kesukaan kita!" Kedua mata Mora berbinar kala mengatakan makanan favoritnya itu.

Fio mengangguk dengan semangat. Mereka segera keluar dari kamar Mora yang terletak di lantai dua itu, menuju meja makan di lantai satu. Ternyata, disana sudah ada Ayah dan Bunda dari Mora yang menunggu kedatangan mereka.

"Hadeuh, putri Cinderella kita lama banget ya Bun turunnya. Keluar kamar aja kayaknya perlu ritual deh," sindir Andre - Ayah Mora.

Erna hanya menggeleng pelan sembari tersenyum. Lagi-lagi suaminya itu sangat pandai menyairkan suasana. Mora dan Fio pun duduk berdampingan.

"Ayah mah gitu. Lagian kita kan lagi marathon drakor. Jadi wajar dong lama, kan harus matiin tv dulu, beresin cemilan dulu." Sanggah Mora dengan memanyunkan sedikit bibirnya.

"Hei, sudah-sudah. Ayo di makan steak nya, setelah itu minum susu vanilla kalian," ujar Erna.

Mora dan Fio mengangguk kompak. Malam ini, mereka menghabiskan waktu dengan marathon drakor. Tanpa memikirkan kesibukan masing masing.

Tepat pukul 02.00 dini hari, mereka menutup drama itu. Fio dan Mora sama-sama enggan untuk tidur.

"Fi, Lo ada problem apa?"

Fio menoleh ke arah Mora yang berbaring disampingnya, beberapa detik ia terdiam lalu menghembuskan napas beratnya. "Orang tua gue on the way cerai."

"HAH?" Mora bangkit dari tidurnya. Sementara Fio memejamkan matanya, tapi Mora tahu. Fio tidak sepenuhnya tidur.

"Gue belum siap buat cerita sekarang."

Oke paham.

Mora memutuskan untuk kembali berbaring. Entah sejak kapan, hembusan napas teratur Fio terdengar. Ia benar benar terlelap.

"Gue paham posisi lo sekarang Fi. Gue harap, lo bisa sesegera mungkin membagi cerita lo ke gue," ujar Mora lalu ikut menjelajah ke alam mimpi seperti Fio.

-

Kicauan burung kutilang serta teriakan pedagang sayur keliling pagi hari ini sepertinya mampu membangunkan satu anak gadis di rumah Andre ini.

Bugh!

Suara itu terdengar nyaring, diiringi sebuah rintihan kecil dan omelan tentunya.

"Shh! Sialan mimpi gue, sakit banget Tuhan."

DermagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang