1

5K 1.1K 397
                                    

Resepsi pernikahan membuat cadangan energi dalam tubuh terkuras habis! Aku sampai tidak sadar bahwa ada banyak undangan yang mengucapkan selamat kepada kami, aku dan Morgan. 

Morgan sih oke, tidak punya masalah. Beda denganku yang ingin meleyot, menempelkan kepala ke bantal, lalu tidur. Bahkan ketika kami berdua ada di kamar pun semangat menempeli Morgan langsung lenyap. Aku buru-buru mandi, ganti pakaian dengan piama, dan memonopoli ranjang.

Anehnya Morgan sama sekali tidak menggangguku. Maksudku MALAM PERTAMA KAMI! Apa dia tidak tergoda dengan tubuhku? Sama sekali? Esok paginya yang aku tahu hanyalah dia berbaring di sampingku, mengamatiku, dan tersenyum. “Halo,” sapanya lembut sembari mengacak-acak rambutku. “Nyenyak?”

Jantungku. JANTUNGKU! Wajah Morgan memang tidak baik bagi kesehatan jantung! Rambutnya yang berantakan dan mata sayunya, mata sehabis bangun tidur, pun membuat diriku serasa dilanda demam.

“Kalau kamu capek,” Morgan menyarankan. “Tidur saja. Nanti siang kita akan pindah.”

Sekarang aku dan Morgan masih berada di kediaman White. Lupakan malam pertama, lupakan melihat ABS Morgan, lupakan kesempatan emas melihat ABS MORGAN! Aku terlalu lelah dan mataku tidak bisa diajak bekerja sama.

“Hmmm,” sahutku sembari meringkuk ke pelukan Morgan. “Kamu yakin?”

Ayolah, dia pasti paham maksudku. Uhuk!

Morgan terkekeh. “Adel, nanti saja. Kamu masih lelah dan kita harus pindah. Aku yakin ayahmu pasti ingin menikmati kesempatan sarapan bersama.”

“Morgan, aku kuat!”

Aku yakin aku kuat! Mungkin.

Dengan lembut Morgan menghadiahiku kecupan di kening. “Belum saatnya. Kita sebaiknya lekas turun dan menemui keluargamu.”

Pada akhirnya aku kalah! Morgan menangkis rayuanku dan melentingkannya ke angkasa bersama harapan-harapan mengenai romantisme. Padahal aku sudah belajar dari novel mengenai ini dan itu. Aku yakin tidak akan berbeda jauh.

Dengan sangat menyesal aku mengamini permintaan Morgan.

Sepanjang acara sarapan, Jamie terus saja menghujani Morgan dengan tatapan meradang. Barangkali dia mau bilang, “Beraninya dia mengambil bocah cilikku!” Sayang Jamie telanjur berjanji dan sekalipun ingin mengganggu tidak mungkin bisa. Tidak semudah itu. Morgan telah membuktikan dedikasinya kepada Dalton maupun Jamie. Dia yang terbaiiiiiiik!

Dia suamiku! Hohoho.

“Morgan, coba ini,” kataku sembari memindahkan tomat dan tumis pepaya muda ke piring Morgan. “Dimakan, ya?”

“Adel, kamu nggak boleh gitu,” Jamie yang paham siasat udang di balik batu milikku pun menyuarakan pendapat. “Bisa-bisanya kamu ngasih makanan yang enggak kamu suka ke suamimu?”

Jamie kurang ajar. Padahal aku bermaksud melenyapkan makanan yang tidak aku sukai dan berlindung di balik romantisme istri. Dih kesal.

“Kakak apaan sih?”

“Jamie,” Dalton memanggil. “Jangan ganggu adikmu.”

Morgan, untungnya, hanya terkekeh dan mengusap pelan kepalaku. “Kamu boleh minta tolong apa pun ke aku.”

Ada rasa senang meluap dalam dada, membuatku dilanda demam asmara.

Sepanjang acara makan Jamie menanyai Morgan mengenai beberapa pekerjaan. Jelas Lawrence dan White tengah melakukan kerja sama dalam proyek pembangunan taman wisata bunga. Morgan menjawab seluruh pertanyaan Jamie. Padahal biasanya ada orang yang tidak suka membawa pekerjaan mereka ke dalam rumah. Namun, Jamie dan Morgan sepertinya biasa saja. Seolah pekerjaan itu hanyalah bagian dari kehidupan mereka yang tidak terlalu menakutkan.

He is Mine!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang