Dilarang menduplikasi, menyontek, bahkan mencuri tulisan saya demi kepentingan apa pun. Penulis Galuh tidak memberi wewenang kepada siapa pun terkait tulisan ini muncul dalam applikasi selain yang Penulis Galuh izinkan.
Kapok.
Rasa penasaranku sudah terjawab dan aku tidak perlu mencemaskan mengenai kinerja Morgan. Tidak perlu. SIA-SIA. SUNGGUH TIDAK PERLU. Aku saja yang tidak tahu diri dan sekarang ibarat menuai apa yang telah aku taburkan alias senjata makan tuan. Pinggangku butuh koyo, lelah bukan main, dan aku curiga Morgan adalah vampir!
Jane seharusnya memberitahuku mengenai efek samping! Bukan hanya mengenai yang lucu saja, melainkan yang ini juga PINGGANGKU! Hasrat ingin menjambak Jane melesat seperti roket! Awas saja! Tunggu saja si Jane. Aku pasti akan menceramahinya dengan kalimat santun nan menusuk pendengaran. Pasti. Jangankan mengutip kalimat orang bijak, kata-kata seorang INFJ ternama pun sudah pasti akan aku masukkan. Lihat saja pembalasanku!
Ini yang terpenting:
Aku tidak akan menggoda Morgan.
Sudah cukup. Rasa penasaranku telah terjawab dan ini membuktikan bahwa omongan Jane itu ada yang tidak tepat. Aku yang salah. Aku! Berani-beraninya membangunkan macan tidur. Sekarang aku kelabakan menghadapi Morgan! Bingung! Yang ada aku ingin bersembunyi entah karena malu atau takut pinggangku sakit. Pokoknya aku bingung setengah mati.
Akan tetapi, itu tetap tidak menyurutkan niatku bermanja-manja kepada Morgan. Hihihi. Seperti saat ini. Morgan sedang berada di ruang kerja, sibuk mengoreksi laporan dan DIA TERLIHAT SEKSI. Sempurna. Dia punya semua yang aku dambakan. Paket lengkap. BAGAIMANA BISA LELAKI SEPERTI MORGAN MEMILIH DIRIKU SEBAGAI ISTRINYA? Pasti ada sesuatu yang luar biasa dariku. Hehe aku memang menarik.
“Morgan,” panggilku sembari mendekat. “Numpang duduk dong.”
“...”
Tanpa permisi aku langsung duduk di pangkuan Morgan. Padahal dia sedang mengecek file dan aku tidak tahu malu memanfaatkan Morgan sebagai kursi nyaman.
Rasakan pembalasan pinggangku! Sekarang dia harus menjadi kursi! Pinggangku butuh bayaran. Menjadi kursi merupakan metode pembayaran paling murah yang bisa aku berikan. Yuhuuuu saatnya manja.
Alih-alih kesal Morgan justru tertawa riang. Dia membiarkanku merebahkan kepala dan bersandar kepadanya. Morgan memilih membaca laporan yang sudah tercetak, beberapa kali dia melingkari tabel angka dengan pena merah. Tiba-tiba aku teringat ulangan dengan nilai 45 dan sepertinya ada tambahan pelototan guruku. Hmm ingatan yang tidak asyik.
“Kok kamu bisa fokus?” Aku mengusapkan pipi ke bahu Morgan. “Padahal aku sedang mencoba gangguin kamu.”
“Nggak kok,” sahutnya dengan suara lembut. “Mana mungkin kamu gangguin aku, Adel?”
Aku menghirup dalam-dalam aroma tubuh Morgan. Bagiku dirinya berbau seperti hutan pinus segar dan jeruk nipis. Jenis wewangian yang membuatku terlena dan merasa tenang. Dulu ketika Noa menculikku dan Morgan berhasil menyelamatkanku, aroma inilah yang berhasil mengusir kepanikan serta ketakutan yang melekat dalam darahku. Menjadikanku nyaman dalam perlindungan.
“Pinggangmu baik-baik saja?”
“Masih SAKIT,” jawabku sembari melingkarkan tangan ke leher Morgan. “Kamu kelewatan!”
“Maaf.” Morgan meletakakn file ke meja dan balas memelukku. “Oke, sebagai permintaan maaf kamu mau apa?”
“Masakanmu,” jawabku tanpa ragu-ragu.
Ada hal ajaib dalam cara Morgan menjamuku dengan makanan. Meskipun masakan yang ia olah memakai bahan dan teknik serupa dengan cara Jamie, tetapi rasanya tidak sama. Lidahku selalu menyukai masakan Morgan. Bukan bermaksud tidak sopan, tapi begitulah yang terjadi di lapangan.
Barangkali perasaan Morgan kepadaku bukan hanya tercurah melalui kata-kata dan perhatian, melainkan melalui caranya merawatku dan menghujaniku dengan cinta. Orang bilang menikah bisa membantu mengurangi permasalahan hidup. Iya, itu kalau ketemu jodoh baik. Semisal Morgan. Sekalipun ingin minta dubidubidu syalala pasti dia menanyakan kesediaanku dahulu. Bukan asal serang dan berlindung di balik “sudah kewajiban istri membahagiakan suami” seolah suami tidak punya kewajiban saja kepada istri. Pernikahan itu lebih pelik. Tidak hanya nafsu saja yang diurus melainkan pembagian tugas. Morgan tidak keberatan memasak, begitupula diriku. Kami menganggap pekerjaan rumah setara dilakukan oleh wanita maupun pria. Tidak ada bedanya.
Huhuhu belum punya anak saja Morgan seperhatian ini, apalagi nanti?
Kyaaa aku ingin menggigit Morgan! Eh, tunggu dulu. Pinggangku butuh kasih sayang.
“Oke,” Morgan menyanggupi permintaanku. “Kamu pengin apa? Sup? Daging panggang? Atau pie?”
“Apa saja asal kamu yang masak aku suka,” kataku sembari mencium pipi Morgan.
Kami pun pindah ke dapur. Morgan menggulung lengan baju sampai siku, memakai celemek, dan mulai mencuci tangan.
Aku menunggu. Duduk manis. Hahaha menyenangkan.
Dengan cekatan Morgan mempersiapkan semua bahan dan mulai mengolah. Dia tampak santai dan sama sekali tidak keberatan menjadikanku ratu. Aku pikir adegan semacam ini, cowok memasak untuk cewek, hanya bisa terjadi di belahan dunia lain. Namun, sekarang beda! Ada Morgan!
Sejujurnya lelaki yang memasak untuk pasangannya itu ada di dunia nyata. Aku tahu itu. Dulu aku pernah menonton YouTube. Seorang koki profesional dari barat selalu merekam momen dirinya memasak untuk pasangannya. Sama seperti Morgan, dia terlihat sangat menikmati memasak dan menyajikan hidangan. Pria seperti Morgan ada di dunia nyata. Hanya saja jumlahnya tidak banyak dan aku yakin kalaupun cowok tidak bisa masak pastilah masih memiliki kualitas baik dalam dirinya. Cowok yang setia, tidak suka berteriak ketika tengah berdiskusi, yang tidak memukul. Itu sudah lebih dari cukup. Perkara poin yang lain masih bisa kompromi dong.
Usai masak Morgan meletakkan satu demi satu makanan di hadapanku.
“Terima kasih,” ucapku, riang.
Aku paham Morgan terbiasa memasak, tetapi ucapan terima kasih pastilah manis.
“Sebentar lagi Jane menikah,” kata Morgan sembari mengamatiku makan. “Kamu pasti senang menyaksikan pernikahan antara dirinya dengan Devon.”
“Tentu. Dia sahabat yang baik walau kadang nyinyir. Ah andai Kakak juga bisa nyusul.”
“Natasha Montez sepertinya harus menyelesaikan pekerjaan dengan beberapa rumah produksi,” Morgan menjelaskan. Dia meraih tisu dan menyeka pipiku kemudian meletakkan tisu di meja. “Jamie hanya perlu berani mengambil langkah pertama. Itu saja.”
“Susah. Dia pasti bakalan diam saja semisal bertemu Natasha Montez. Omong-omong, kamu kenal Devon?”
Morgan mengangguk. “Sangat baik.”
Sontak insting dalam diriku pun meraung butuh informasi. “Dia baik, ‘kan? Bukan tukang selingkuh.”
“Sepengetahuanku,” Morgan menjelaskan sembari menuang air ke dalam gelas dan memberikannya kepadaku. “Dia tidak pernah terlibat skandal apa pun. Kalaupun ada yang tidak aku sukai dari Devon, sudah pasti itu adalah sifatnya yang terlalu riang.”
Aku menerima gelas dan langsung minum seteguk. “Dia kenapa?”
Kerutan di kening Morgan mulai muncul. “Terlalu menggampangkan sesuatu dan sepertinya dia tidak sadar bahwa aku benar-benar ingin mengambil alih bisnis miliknya andai dia bersikap kelewatan.”
ASTAGA.
“Morgan, jangan,” aku melarang. “Devon sepertinya nggak ada niat buruk. Anggap saja dia tipikal cowok yang senang dengan lelucon. Morgan, manis. Jangan ganggu bisnis Devon, ya? Kasihan temanku. Jane memang pandai dan bisa bertahan dengan bisnis perhiasan, tapi jika kamu mengusik Devon ... hmm aku pasti sedih.”
“Oke, aku anggap Devon berutang budi kepadamu.”
BUKAN BEGITU MAKSUDKU!
***
Selesai ditulis pada 25 Juni 2022.***
Semoga tulisan ini tidak dibajak. Tolong mengertilah. Mengertilah!Btw, selamat menikmati teman-teman. Love youuuuu.
Salam hangat,
G.C
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Mine!
ChickLitKata orang aku sungguh beruntung terlahir sebagai tokoh antagonis kaya raya, memiliki keluarga yang SUPERDUPERCARE, punya sahabat baik walau cerocosannya amazing, dan AKU BERHASIL MENIKAH DENGAN TUAN VILLAIN PALING GANTENG SEJAGAT. Oke, Tuan Villain...