Part 1

2 1 2
                                    

"Jangan selalu menyalahkan kopi jika kamu tidak bisa memejamkan matamu."

Raihan terlihat gelisah di ruang tamunya yang mewah, sementara suara anaknya yang berumur tiga tahu terus menangis di kamar. Gadis kecil yang berambut panjang dan berkulit putih itu menangis sejak semalam. Ia berhenti jika sudah letih dan tertidur sambil memeluk boneka kesayangannya.

Raihan masih diliputi perasaan panik saat ia melihat jarum di arlojinya yang sudah menunjukkan angka delapan. Biasanya, lelaki perlente dengan wajah seperti Saipul Jamil itu berangkat ke kantor sebelum jam delapan.

Dalam keadaan bingung, ia berjalan ke kamar. Ia melihat anaknya dalam keadaan cemas. Fatma tidak ada sejak semalam. Ia juga sudah menelepon beberapa sahabat Fatma dan beberapa keluarga. Namun tiada yang tahu. Fatma hilang bak ditelan bumi.

Putri kecilnya yang sedang duduk di tempat tidur sudah berangsur reda tangisnya. "Mama mana, Yah?"

Mendengar pertanyaan di sela isak tangis Maria itu, Raihan tiba-tiba berinisiatif untuk membawa anaknya ke kantor.

"Di kantor, aku bisa mengawasi Maria sambil bekerja," Raihan membatin.

Dengan bersemangat Raihan mendekati anaknya, membujuknya lalu membantunya mandi. Tidak butuh waktu lama, keduanya sudah siap di mobil.

Maria memakai baju berwarna merah, memakai bando merah dan bersepatu merah pula, cantik sekali. Kecantikan yang menurun dari ibunya.

Sebelum berangkat, Raihan menoleh kepada Maria, memastkan jika putrinya itu sudah duduk dengan baik.

"Maria, nanti di kantor main saja di kamar Ayah, ya Nak? Nanti Ayah akan sediakan mainan dan makanan kesukaan Maria." Raihan mengusap kepala Maria dengan hati sedih. Lalu mobil mewah berwarna hitam metalik itu melaju menembus kota yang sudah mulai macet.

Di tengah perjalanan, Raihan segera meminta Pak Aris, salah satu karyawannya untuk menyediakan mainan perempuan untuk Maria, juga susu kemasan yang biasa diminum Maria.

Aroma harus wangi candle menguar saat Raihan membuka pintu ruangannya. Begitu Raihan masuk, seorang wanita cantik berkulit putih datang membawa kardus.

"Ini semua kebutuhan Maria, Pak."
"Terima kasih, Aryana."
Sebelum meninggalkan ruangan itu, Raihan meminta sekertarisnya itu untuk membantu Maria menyesuaikan diri dengan mainannya.

Meski Aryana bertabur seribu pertanyaan di kepalanya, ia belum berani menanyakannya kepada bos-nya itu. Ia mulai membuka kardus yang masih baru itu dan sesekali mengajak Maria berbicara.

Pada saat Raihan dan Aryana bertemu pandang, Raihan memberi kode agar ia jangan menjawab apa-apa jika ditanya oleh Maria. Melihat bos-nya itu, Aryana hanya mengangguk saja.

Hari itu, Raihan mengerjakan semua pekerjaannya di ruangan yang luas dan artistik itu. Sesekali ia menatap wajah putrinya dengan perasaan trenyuh.
"Di mana kamu Fatmah?"

Untunglah Maria tidak menangis dan bisa menikmati mainan yang disediakan.

Setelah rapat bubar, Raihan mendekati Maria dan mengusap kepalanya. "Kakak mau makan? Ayah suap ya, Sayang?"

Maria mengangguk. Namun ketika Raihan membuka kotak kue dan memberikannya kepada Maria, anak kecil itu tiba-tiba menangis. Sontak, suara Maria yang keras itu mengundang perhatian para karyawan. Mareka saling memandang dan heran mengapa bos-nya itu membawa anaknya ke kantor.

Beberapa saat menangis anak itu mulai diam. Tentu saja Raihan merasa lega. Ia kemudian memesan secangkir kopi lewat Aryana. Ketika kopi itu sudah diletakkan di meja dan keharumannya menguar, Raihan mengingat Fatma di saat istrinya itu meletakkan secangkir kopi dan seiris almon cake. Pada saat itu, Raihan suka menatap mata bulat milik Fatmah, seorang karyawan yang masuk bekerja karena balas budi Pak Danur, rekan kerja Raihan.

Senja telah menampakkn warna jingga di garis batas cakrawala. Langit sangat cerah, sebagian burung menari-nari di udara tatkala Raihan menggendong Maria keluar dari mobil. Gadis kecil itu tertidur sepanjang jalan di samping ayahnya.

Begitu memasuki rumahnya, Raihan tidak dapat menyembunyikan perasaan sedihnya. Ia lalu mencium Maria dan membawa ke kamarnya. Maria yang sedang memeluk bonekanya tampak asyik ketika boneka itu dihadapkan kepada dirinya.

"Aku akan mencari Fatmah di mana pun ia berada," kata Raihan lirih.

Raihan segera mengganti bajunya dan menuju dapur. Sore ini ia akan membuatkan anaknya sup makaroni kesukaannya. Sambil mengaduk kuah, Raihan tidak dapat menahan air matanya. Ia membiarkan air bening itu membasahi kedua pipinya.
*
"Masakanmu selalu enak, Fatma." Raihàn memegang tangan Fatma dari belakang saat ia sedang mengaduk kuah sup makaroni di suatu sore, persiapan makan malam mereka. Wanita berkulit sawo itu hanya tersenyum setiap kali suaminya memuji  hasil masakannya.
*
Raihan sejenak mematung. Bayangan istrinya yang tetap sederhana meskipun telah menyandang gelar istri konglomerat yang tampan. Fatma tidak pernah meminta apa pun kecuali mengingatkan suaminya agar cepat pulang dari kantor setelah pekerjaannya selesai. Fatma selalu mengingatkan suaminya agar cukup istirahat pada malam harinya agar besoknya bisa ke kantor dengan segar.

Raihan menghapus air matanya lalu berjalan ke kamarnya. Dengan aroma sup yang menggoda itu, Raihan berharap agar Maria bisa menyukai dan menyantapnya lahap.

Malam beranjak semakin pekat. Raihan belum bisa memejamkan matanya setelah berhasil menenangkan Maria yang sempat menangis. Anak kecil itu berteriak memanggil ibunya. Dan Raihan semakin pilu mendengar isak tangis Maria.

Raihan beranjak dari ranjang. Ia mengambil air wudu dan akan melaksanakan salat Isya. Ia akan meminta kepada Rabb-nya agar diberi petunjuk di mana Fatmah berada.

Malam semakin jauh beranjak. Raihan belum bisa mengatupkan kedua matanya. Tangannya terulur mengusap punggung Maria. Hatinya yang terasa perih tiada pernah putus berucap doa. Besok, ia akan mencari Fatma lagi.

Ketika matanya sudah merasa berat, ia mematikan satu lampu di atas nakas. Namun, sebuah suara terdengar dari pintu utama membuatnya bangkit.

Bersambung.

MATA SEINDAH BOLA PINGPONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang