Bau obat-obatan menusuk indera penciuman begitu sadar, memaksaku menahan napas. Dua mataku perlahan dapat dibuka, ada Liam tertidur pulas dalam keadaan duduk.
"Makasih, Liam," lirihku, aku mengira Liam tidak dengar sampai ia menegakkan badan cepat dan memandangiku takjub. Melihatku memegang leher, ia segera mengambil gelas hingga air sedikit tumpah akibat guncangan cukup besar.
"Ini diminum! Jangan mikir apapun! Saya di sini bersama Nona!" ucapnya, aku menuruti tanpa protes. Dua mataku berkelana dan menemukan banyak perbedaan, ada TV yang tengah menampilkan gosip terkini dan gawai di nakas.
"Kamu gapapa, Liam? Maafkan aku sudah menyusahkanmu, semalaman kamu jagain aku."
"Saya baik. Terimakasih telah mencemaskan saya. Nona bagaimana? Apa kepala terasa sakit?"
Aku memegang ubun-ubun, tidak terasa sakit atau nyeri. Liam menghela napas lega, senyum terbit menghangatkan hatiku.
"Liam sudah makan? Sekarang jam berapa?"
"Jam sembilan, saya sudah sarapan dengan belanjaan kemarin."
"Oh begitu. Baguslah! Jaga dirimu, Liam!" ucapku. Liam mengangguk paham, ekspresi kembali mendatar.
"Ada pria membawa Nona kemari, ia memberi tahu segalanya saat saya mencoba mencari Nona," ucap Liam. Aku menoleh cepat.
"Bukannya kamu yang menolongku, Liam? Kamu menggendongku sampai aku tidur di brankar dan menjaga tubuhku agar tidak kedinginan, kamu selalu berbisik kalau aku harus terjaga. Itu kamu, kan?"
Liam memandangiku bingung, kami saling menuntut penjelasan melalui isyarat. Suara dehaman mengagetkanku, aku memalingkan wajah dari Liam pada pria keriting, ia tampak asing sekaligus familiar.
"Pria ini telah membawamu kemari." Liam berdiri, ia bergerak pada pria asing itu. Aku mencoba mengulik sesuatu tentang orang ini, tapi nihil. Ingatanku kosong. "Saya pamit!"
Aku melihat Liam tersenyum senang sebelum pergi meninggalkanku dan rasa takut cukup parah, pria ini tampak pucat. Ia begitu lemas, tangannya sangat dingin membuatku cemas.
Apa dia begini karena aku? Tapi kenapa?
Waktu terus bergulir dan tidak ada bersuara, rasa canggung terus menebal hingga aku ingin berlari keluar dan mencari Liam. Dua mata hijau begitu redup, seakan tidak ada semangat hidup.
"Apa kamu baik-baik saja?"
Aku merutuk diriku yang asal ceplos, ia tidak menyahutiku. Namun senyum sedikit demi sedikit muncul.
"Tidak pernah sebaik ini," balasnya, aku menggaruk tengkuk. Dia memamerkan obat dari saku jas hitam. Mataku dengan lancang menatap nametag bertulis sesuatu cukup mengagetkan.
Harry Styles
Tamu
Styles Company"Kamu.... Kamu habis dari kantor Styles atau akan ke sana?" tanyaku, suaraku tertahan dan begitu serak. Dia menyernyit bingung sebentar lalu memasang wajah sumringah.
"Saya sudah ke sana, tapi...."
Cahaya di wajahnya cepat sirna, aku cepat menduga ada sesuatu buruk yang terjadi. Aku mengangguk pelan, suasana hatiku menjadi kelam.
"Saya Harry Styles. Ini rumah saya, kalian bisa tinggal di sini untuk beberapa hari jika masih merasa lemas."
Aku menjerjap, masih heran dengan pria ini. Dia cepat sekali mengubah ekspresi, berbeda sekali denganku. Dua mata hijau lama-lama tampak menarik, aku memalingkan asal saat sadar ada aneh dengan diriku. Kepalaku memanas dan tubuhku merinding entah kenapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
LITE NIGHT [END]
Fanfiction[HARLENA FANFICT #1] Lilian bertemu dengan Harry, manusia ajaib bisa muncul dan hilang bagai sihir tiap malam. Ingin memiliki hubungan normal, ia justru dikejutkan oleh alasan dan misi Harry yang berhubungan dengannya. .... Lilian sendirian. Bukanny...