Bagaimana Kita Bertemu?

2 2 0
                                    

Hari pertama penetuan kelas religius di sekolah menengah pertama. Sungguh sangat mendebarkan. Siapa guruku nanti? Adakah anak laki-laki tampan yang akan sekelas religius denganku? Hampir semua anak di kelas putri memikirkan hal itu. Maklum, dikelas mereka hanya diisi oleh teman sejenis kami dari awal masuk sekolah itu sudah disuruh untuk tidak terlalu dekat dengan lawan jenis. Takut hal semacam zina terjadi.

Bel tanda kelas religius dimulai berbunyi kencang di setiap kelas. Guru-guru yang sedang mengajar berusaha menyelesaikan penjelasan agar bisa segera mengakhiri kelas. Mata murid-murid kelas 7A berbinar terang. Akhirnya selesai jugaa. Kami tidak diperbolehkan berdiri untuk keluar kelas sebelum guru yang mengajar tadi belum keluar itu salah satu adab di sekolah ini.

"Baiklah, cukup sampai sini saja. Saya harap apa yang saya ajarkan tadi mudah untuk kalian pahami. Setelah ini kalian akan memasuki kelas religius yang sudah diacak oleh setiap kelas. Harap cermati baik-baik siapa yang mengajar dan dimana ruangan kalian. Baiklah, saya akhiri. "

Penutupan formalitas. Sama seperti murid-murid yang lain, aku merapikan buku-buku ku dan bergegas untuk segera keluar kelas.

"Ka! Cepetan ih. Keburu di rubungin kakak kelas papan pengumumannya!" Setia, salah satu bestieku menarik-narik lengan bajuku agar segera bergegas. Dibelakang Setia, seorang gadis melipat tangannya yang juga sedang menungguku beberes, Sasha.

Sama seperti murid yang lain, aku juga sangat bersemangat akan hal ini tapi, entahlah. Rasanya akan ada hal buruk yang menimpaku hari ini.

Detik demi detik sudah banyak berganti menjadi menit semenjak kami sudah tiba di depan papan pengumuman. Sekumpulan manusia berbondong-bondong bak hujanan ombak yang ingin segera menyerbu papan pengumuman. Tentu saja, aku dan  Setia tidak berada di gerombolan itu. Hanya Sasha yang menyatu dengan kerumunan. Kami sudah mengatur ini sebelumnya. Sasha memang jago banget kalau buat yang beginian.

"Azka! Kelas religius kamu di lantai 2! Kelas... Kelas Pak Irul." Sasha yang sudah ada di depan muka papan pengumuman berteriak keras diantara kerumunan agar aku mendengar suaranya.

"Lantai 2 kelas pak Irul, ok." Aku mengulangi apa yang dia bicarakan agar aku dapat lebih mengingat apa yang dikatakan Sasha.

"Setia, aku naik dulu. Ketemu lagi nanti waktu istirahat ya." Dengan Al-Qur'an yang sudah ku tenteng sejak tadi, aku langsung menuju lantai dua untuk segera menuju kelas. Setia mengangguk sambil menunjukkan ibu jarinya.

Aku dengan cepat melangkahkan kakiku menuju ruangan tempatku mengaji.

***

"

Sebut nama!" Seorang lelaki memakai kopyah hitam lancip nan mulus bebadan gemuk dengan sebuah kacamata menghiasi matanya yang menatap langsung kearahku. Suara teriakannya yang menggelegar ini membuatku yakin, kalau dia adalah orang yang disiplin kuat.

"Azka Mariska Hidayati, Pak!" Jawabku sigap.

Plak!

Sebuah penghapus papan dilempar ke lantai yang membuatku langsung mengridik kaget. Sebenarnya suaranya tidak sekeras itu, hanya saja pergerakannya tadi tidak bisa diprediksi sama sekali.

"Kamu tadi bilang apa? 'Pak'? Disini, para tenaga pendidik disebut dengan sebutan 'ustad/ustadzah', jadi biasakan itu."

"Maaf, Pak. Saya akan mengingat nasihat Bapak. Eh, maksud saya, 'Ustad'." Ucapku sambil menatap keramik yang kuinjak, menandakan bahwa aku sangat menyesal.

"Ya, sudah. Duduk!" Aku menganggukkan kepalaku dan langsung duduk di kursi yang kosong.

Sejauh pengamatanku, ruang kelas kerohanian ini tidak seperti kelas pelajaran umum. Di kelas ini, Laki-laki dan perempuan ditempatkan di satu ruangan. Walaupun demikian, tetap ada jarak yang dibuat secara alami. Bagian utara ruangan diisi dengan para santriwan dan bagian selatan diisi dengan para santriwati.

Tak buruk juga. Pikirku.

"Baiklah, karena murid terakhir dikelas ini sudah tiba kita mulai kelas hari ini. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh

" Sebelum kita memulai kelas ini, marilah kita mengawali dengan shalawat—"

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Tiba-tiba suara spiker yang berada di setiap kelas untuk memberitahukan pengumuman mengeluarkan suara. Ustadz Irul yang tengah memulai kelasnya harus berhenti dahulu.

"Mohon maaf menganggu para Ustad/ustadzah yang mengajar dikelas. Dibertahukan kepada Ustadz Irul diminta untuk menggantikan kelas Ustadz Usman hari ini, dikarenakan Ustad Usman saat ini berhalangan hadir. Sekian pemberitahuan dari kami. Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Wa'alaikumussalam

"Nah, ada pemberitahuan. Kita pindah kelas ke kelasnya Ustadz Usman, kelasnya digabung sementara waktu." Ujar Ustadz Irul. Semua murid langsung mengusung Al-Qur'an yang mereka bawa untuk pindah kelas. Aku ikut bersama mereka.

Setelah dilihat-lihat, kebanyakan dari santriwati kelas ini adalah kakak kelas. Hal ini terlihat jelas karena mereka sudah memakai bet sekolah lengkap.

Lain halnya dengan santriwan, kebanyakan didominasi anak-anak seangkatanku. Tapi walaupun seangkatan, kami tetap tidak bisa berbicara banyak.

Aku mengikuti Ustad Irul dari belakang bersama santri-santri lainnya. Letak kelas yang akan kami masuki berada di lantai bawah. Huft, sia-sia saja aku naik keatas dengan penuh perjuangan.

***

15 menit setelah berlalu saat Ustad Irul mengajar di kelas lantai bawah itu. Matahari bersinar cukup terik kala itu, aku yang duduk di samping jendela merasakan juntaian cahaya panas yang langsung menerpaku.

Saat ditengah-tengah pembelajaran kerohanian tadi, aku dapat menyimpulkan bahwa aku tak rugi dimasukkan dalam  kelas ini. Yeah, walaupun kesan Ustad Irul kepadaku kurang mengenakkan, tapi Ustad Irul punya satu kelebihan yang sangat menonjol pada dirinya. Yaitu suaranya saat membaca ayat-ayat suci yang sangat amat merdu.

Karena hal itu, aku jadi memandang Ustad Irul secara berbeda. Dulu, suaraku saat sedang tilawah bisa dibilang cukup merdu, tapi beberapa saat terakhir saat aku mencoba untuk menampilkan tilawahku, suaranya tidak seenak dulu.

Karena hal itu, aku harap dengan adanya Ustad ini, bisa mengembalikan suaraku yang sempat hilang.

Ustadz Irul ingin mengakhiri pembelajaran hari ini dengan bacaan ayat-ayat pendek juz 30.

"Gilang!" Ustadz Irul memanggil seorang santriwan dari kelas ini. Reflek anak laki-laki dengan rambut sedikit acak-acakan yang tengah sibuk berbincang-bincang dengan kawan menoleh ke sumber suara mendengar namanya dipanggil.

"Gilang, baca surah Al-Falaq. Pakai Irama Nahawan, masih ingatkan?"

Hah? Yakin anak macam dia bisa pakai nada Nahawan? Kalau bisa, fix dia jago tilawah sii, aseli. Tapi dilihat dari penampilannya... kemungkianannya, 20% deh. Nggak mungkin ah!

"Ingat Ustad." Jawab dia.

Affah iyaa???

اعد بلله من اشيطن رجيم

Untuk sepersekian detiknya, baru taawudz dia bacakan tapi aku harus mengakui, suara dia, merdu khas anak yang baru baligh. Aku hanya bisa diam dibuatnya. Matahari yang menjadi saksi akan suara indah itu juga tercengang hingga tak lagi menjatuhkan sinarnya ke ribaanku lagi.

Baru saat itu kumenyadari, begini ternyata cinta pandangan pertama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

In His WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang