Memories of Rain

4 1 0
                                    

Namanya Rain, entah kenapa, persis seperti namanya, pemuda berkulit putih pucat itu selalu tampak sendu dam menyedihkan. Seperti hujan yang selalu bersiklus sama, siklus kehidupan Rain juga tak jauh berbeda, selalu berputar di neraka yang sama.

Ibunya bilang dia adalah monster pembawa sial, ayahnya bilang dia adalah benalu tak tahu malu, kerabatnya bilang dia adalah seonggok sampah tak berguna.

Namun, persis seperti hujan yang yang seolah membawa sial bagi sebagian orang, bagi sebagian lainnya ia justru kebahagiaan dan harapan. Persis seperti hujan yang membawa harapan dan kebahagiaan baru, begitulah Rain bagiku.

Dulu, Rain pernah bilang dia butuh penangkal hujan untuk terus hidup, Rain pernah bilang dia pengen jadi pelangi yang membawa kebahagiaan usai hujan, namun apa daya dia hujannya.

5 tahun yang lalu...

"Hai! Namamu Rain bukan? Nama yang bagus, mau jadi temanku? Namaku Indah, maba jurusan Sastra Jepang" Aku mengulurkan tanganku kehadapan seorang pemuda bernetra violet. Rain albino, kulitnya putih pucat dengan surai dan bulu mata lentik tanpa warna.

Pemuda berparas cantik itu hanya mengangguk sekilas lantas menyambut uluran tanganku cepat, begitu singkat bahkan kulitnya seolah tak menyentuh telapak tanganku. Tatapan ragu dan senyum sayu menghiasi wajahnya.

"Rain, jurusan Ekonomi" sapa Rain singkat membalas sapaku padanya tadi.

Sebulan berlalu sejak masa orientasi sekaligus perkenalan singkat kami, tak pernah kulihat apalagi berpapasan dengan pemuda bernetra violet itu. Entah karena gedung fakultas kami yang berjauhan ataupun pemuda itu memang merasa tak pernah mengenalku.

Sampai suatu hari, kami berpapasan kembali untuk yang kedua kalinya. Dengan langkah bergegas aku menghampirinya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

"Rain!" Aku melambaikan tangan kearahnya, tak lupa mengukir senyum terbaik di wajahku. Rain terlihat kaget dan menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti, yang hari ini aku faham bahwa tatapan itu adalah wajah berbinar penuh harapan seorang Rain.

"Oh, hai... Indah?" Wajah cantik dengan raut sendu miliknya sekali lagi menarik perhatianku. Aku mengangguk cepat membalas tatapan penuh ragunya.

Pertemuan hari itu berakhir dengan kami yang saling bertukar kontak dan akun sosial media. Saat itu kusadari bahwa Rain adalah orang yang benar-benar anti bersosial.

"Ibuku akan marah Indah, jika aku berteman degan begitu banyak orang terutama laki-laki" aku mengernyit heran sembari menatap wajah Rain dari samping, air hujan menetes indah dari bulu mata lentiknya. Kala itu hujan turun begitu deras seolah ingin mengungkapkan kesedihan dan rasa sakit pemuda itu.

Hari itu kami bertemu di taman setelah Rain memanggilku, suaranya begitu pelan dan sayup. Sesaat setelah-nya aku sampai disana, yang kulihat adalah Rain dengan wajah ditutupi hoodie dan topi. Rain terlihat kaget saat aku menarik paksa hoodie dan topinya, begitupun aku yang kaget melihat wajahnya.

Pemuda dengan surai yang mulai memanjang itu baru saja dipukuli, wajahnya terlihat babak belur.

"Aku baru saja berkelahi Indah" Gumamnya pelan mencoba menenangkanku, namun instingku berkata lain. Kusibak lengan bajunya, dan benar saja. Dia dipukuli. Rain terlihat menunduk entah itu malu ataupun merasa bersalah.

"Masih banyak kan?" Tanyaku dengan nada geram sembari mengusap punggungnya. Dan sekali lagi dugaan yang kuharap bohongan ternyata benar, Rain meringis. Sangat kentara dari raut wajahnya dia menahan sakit.

Sesaat setelahnya rintik hujan mulai turun didiringi Rain yang menceritakan banyak hal padaku. Sore itu aku faham, pemuda itu tak diinginkan. Namun hari itu aku faham, seperti hujan, Rain adalah hal terindah yang pernah hadir dalam hidupku.

Hari ini...

Aku mengucek mataku, lantas duduk diatas ranjang. Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 suara derasnya hujan menciptakan nada indah di indra pendengaranku. Dari luar kamar terdengar derap langkah kaki menuju arah pintu kamarku. Dengan cepat aku menarik selimutku, berpura-pura masih terlelap.

"Indah, ayo bangun! Jangan karena ini hari minggu kamu berencana untuk hibernasi sepanjang hari!" Suara lembut seseorang yang berharga bagiku menyeruak ditelinga, aku tersenyum tipis membiarkan si pemilik suara mengguncang pelan tubuhku.

"Indah ayo kita bermain hujan" Bisikan lembut ditelingaku tak membuat aku berkutik. Namun tak ayal ajakan bermain hujan tak pernah bisa kutolak.

"Ayo! Ayo kita keluar dan bermain hujan Rain!" Dengan cepat aku duduk dihadapan Rain dan berseru dengan raut wajah berbinar. Lelaki itu tertawa sembari mengangguk, netra violetnya tenggelam dalam senyum manis di wajahnya.

Rain menyelipakan rambut coklat kemerahanku yang terlihat berantakan kebelakang telingaku, lantas berbisik pelan "Cantik".

"Kamu cantik Indah... selalu" Seketika wajahku memerah lantas memanas. Detik selanjutnya kami tertawa, menertawakan kekonyolan kami satu sama lain.

Rain tak butuh penangkal hujan, karna bagiku ia adalah berkah. Rain tak perlu menjadi pelangi, karena tanpa hujan tak ada semburat indah pelangi di langit biru.

END

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang