malam semakin larut, seharusnya sudah sangat kelam waktu-waktu seperti ini, namun tidak disini. Tidak ada hewan malam yang bahkan tampak sekedar melintas, bahkan cahaya bulan meredup terhalangi polusi udara yang memuakkan. Bukannya kelam, malahan lampu-lampu pencakar langit terus memeriahkan malam.Huft!
Aku menghela nafas gusar. Bahkan di jam-jam seperti ini masih saja macet. Aku melirik jam tanganku sekilas. Akkhh lembur menyebalkan! Azalea pasti akan menyambutku dengan raut marah plus khawatirnya, padahal-kan aku sudah berjanji akan pulang cepat hati ini.Ceklek
Aku mendorong pelan pintu apartemenku, lalu masuk dengan mengendap. Aku sudah seperti pencuri saja dirumah sendiri. Kemana Azalea? Gadis kecil itu tak tampak menyambutku seperti biasanya.Dia sudah terlelap di kamarnya, aku menatapnya lekat, ia selalu bisa mendamaikan hatiku. Azalea, adik terkecilku. Gadis kecil itu sudah menduduki kelas 3 Sekolah Dasar. Lea, brgitu aku biasa memanggilnya. Ia sudah tianggal bersamaku sejak 5 tahun lalu. Adik kecilku telah tumbuh begitu cepat, aku tersenyum. Mengusap rambutnya teratur.
Mataku menyisiri kamar bernuansa kuning itu, Azalea itu maniak kuning. Sesaat, pandanganku terpaku pada kalender yang tergantung di dinding. Aku memijat pelipisku pelan. Hari ini ya... persis 5 tahunaku meninggalkan neraka itu. Hari yang selalu aku coba lupakan, namun semakin aku berharap itu hilang ia malah semakin lekat di benakku. Memori itu tak dapat pudar entah karena aku terlalu membencinya atau tanpa kusadari, alam bawah sadarku tidak menginginkannya hilang dan malah merindukannya
Azalea menggeliat resah, aku menggapai selimut lalu menutupi tubuhnya. Gadis kecil itu tampak mulai tenang kembali, aku mengecup keningnya pelan lantas meninggalkan gadis itu dan menuju dapur. Aku sangat lapar dan lelah, lembur sangat menguras energi dan pikiran.
Aku bekerja di sebuah perusahaan penerbitan sejak dua tahun lalu, ketika aku menyelesaikan kuliahku di sebuah universitas yang cukup terkenal di kota ini, dan pekerjaanku adalah seorang translator buku. Sudah lebih dari cukup untuk membiayaiku dan Azalea di kota super padat ini.
Aku menyendok nasi kemulutku, aku terkekeh kecil. Nasinya lembek seperti bubur, ini masakan Azalea. Sudah sejak tiga hari yang lalu gadis kecil itu bersikukuh ingin belajar memasak nasi, "biarkan Lea saja yang memasak nasi mulai hari ini, kak Rean masak lauk saja. Kita berbagi tugas!" Itu kata Lea tiga hari lalu, gadis kecil itu begitu optimis dan periang. Meskipun terkadang nasinya keras dan bahkan terlalu lembek seperti hari ini.
_PERGI_
Hari-hari berlalu seperti biasa, pagi hari aku akan mengantar Azalea ke sekolah lalu aku akan berangkat ke kantor, sorenya Azalea akan pulang sekolah dengan taxi langganannya -gadis kecil itu benar-benar mandiri- lalu malamnya aku akan pulang dan jika lembur aku akan pulang benar-benar larut.
Hari ini Minggu pagi, aku tidak bekerja begitupun Azalea tidak bersekolah. Kami memuruskan akan pergi ke danau dan berpiknik. Aku memasak bekal-bekal dan Azalea menatanya kedalam wadah. Entah mengapa sepertinya ada hal janggal pada gadis kecil itu pagi ini. Azalea tampak senyap -bukan senyap tekun, ia melamun- entah sudah kali keberapa apel yang ingin disusunnya jatuh.
"Lea"
"Azalea?""Eh? Uh! Eh maaf kak..." sempurna sudah aku buyarkan lamunannya, gadis kecil itu tampak gelagapan. Aku tersenyum tipis lalu sedikit menunduk untuk menyamai tinggi badan gadis kecil itu.
"Kamu baik-baik saja sayang?" Tanyaku lembut.
"Lea cuma... rindu ayah dan bunda kak. Eh, maafkan Lea mengatakan itu" Azalea sedikit menunduk, bagi gadis kecil itu semua sangat sederhana. Aku membawanya karna ayah dan bunda sudah cukup tua, dan ia tak dapat menelepon karena mereka sangat sibuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
Short StoryBanyak hal terjadi dalam kehidupan, semua berlalu, terlupakan, bukankah begitu? Sama halnya dengan aku, kamu, dan kita yang akan saling melupakan begitu saja nantinya.