"Rey!"
Gadis bermanik mata hijau itu berteriak kalap memanggil laki-laki yang melangkah semakin jauh darinya. Gadis itu berlari, menguatkan kakinya yang memang lemah sejak kecil."Rey!"
Pekik gadis itu lagi, kali ini laki-laki itu sepertinya mendengar pekikannya. Berbalik.
"Diena?" Tanya laki-laki itu lembut. Gadis itu terdiam cukup lama, menatap lamat sahabatnya.
"Jangan pergi..." Pelan Diena diujung kalimatnya. Gadis itu masih menatap lamat Rey dihadapannya. Rey mengernyit heran.
"Jangan pergi Rey..." Ulang gadis itu, kali ini nadanya lebih terdengar seperti memohon. Rey menghela nafas pelan, balas menatap lamat gadis dihadapannya.
"Aku harus pergi Na, maafkan aku... aku tak pantas disini. Tidak pantas berada diantara kalian, menyusahkanmu, menyusahkan Emma dan Khay. Maafkan aku telah merusak pertemanan kita Na..." Diena menggeleng keras, tidak setuju dengan opsi egois Rey, bulir bening mulai jatuh dari netra indahnya.
"Katakan Na... katakan sebuah alasan logis agar aku dapat bertahan disisi kalian..." Guman Rey pelan sembari mengusap bulir bening yang mulai mengalir deras di pipi gadis dihadapannya.
"Haha, kamu bohong Rey! Kamu bohong tentang alasan kepergianmu, kamu pergi... kamu pergi karena Emma tidak mencintaimu bukan¹?! Lantas kamu pergi karena merasa dunia tidak memihakmu, takdir membencimu, iya kan Rey?!" Gadis itu memekik diantara tangisnya menatap terluka laki-laki dihadapannya.
Rey tertunduk, dia benci keadaannya saat ini. Diena benar, dia hari ini memutuskan untuk pergi karena mengetahui bahwa Emma, gadis yang dicintainya sekaligus sahabat karibnya dua tahun terakhir ternyata mencintai Khai, mereka bertengkar, cukup untuk merusak persahabatan mereka dua tahun tetakhir. Dulu, fikirnya Emma juga mencintainya. Dua tahun berharap pada angan kosong ternyata menyakitinya begitu hebat kala jatuh.
"Lantas... katakan padaku sebuah alasan agar aku dapat bertahan Diena..." Rey tergugu, tatapannya kosong seolah tak ada kehidupan disana. 5 detik, 30 detik, Diena terdiam. Kali ini gilirannya yang menunduk. Diena menatap tanah yang diinjaknya, ia menangis lagi, namun itu tangisan pilu dan takut. Tubuh gadis itu bergetar.
"Na?" Rey menatap Diena heran, lantas memeluknya erat. Mereka bersahabat sejak kecil, dan Rey tak pernah tahan melihat sahabatnya satu ini terluka apalagi menangis dengan irama kesakitan seperti ini.
"Aku... a-aku mencintaimu Rey... jangan pergi, kumohon" Netra Rey membulat, menyadari kebodohannya selama ini. Bodoh sekali dirinya tak pernah melirik Diena yang selalu ada disisinya.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
Short StoryBanyak hal terjadi dalam kehidupan, semua berlalu, terlupakan, bukankah begitu? Sama halnya dengan aku, kamu, dan kita yang akan saling melupakan begitu saja nantinya.