Chapter 1 : Mengernyit

35 3 6
                                    

"Ma! Lihat, ma!" pekik seorang anak gadis dari bangku penonton. Suaranya sedikit tersamar berbaur dengan sorakan penonton lain yang merasa kagum dengan tontonannya. "Aku mau pelihara yang kaya gitu, ma! Lucu!" lanjutnya dengan intonasi geregetan.

"Sayang, lumba-lumba itu susah lho nangkepnya. Lagipula kita bisa tiap weekend kesini." jelas si ibu yang merasa terganggu karena sedari tadi tengah asik mengunggah foto-foto liburan akhir pekannya ke instagram.

"Beda dong, ma. Aku maunya ada di kolam renang kita. Biar nanti bisa main sama lumba-lumba tiap hari. Bisa ajak temen-temen juga." rengeknya.

"Bawel, kamu. Udah nonton aja atau nanti gak mama ajak kesini lagi, mau?" ancam ibunya yang mulai jengkel dengan rengekan anaknya. Si anak mulai memasang muka masam sembari memutar bola matanya searah jarum jam dan memilih lanjut menikmati atraksi lumba-lumba yang ada di depan matanya. Ia sesekali tertawa girang bersama penonton lain saat si lumba-lumba menunjukkan beberapa trik menggemaskan.

22 April 2019

Hari ini benar-benar adalah hari yang melelahkan. Sebuah ungkapan yang terlalu biasa untuk mengawali sebuah cerita, bukan? Aku mengernyitkan dahi saat melihat tumpukan sampah yang ditinggalkan di bangku-bangku mereka yang pulang setelah menyaksikan atraksi hewan paling ramah lingkungan di dunia. Aku menyebutnya begitu karena lumba-lumba disini bisa membedakan tiga golongan sampah yang bahkan manusia saja kadang tak dapat membedakannya.

"Juna! Setelah bersih-bersih jangan lupa beri makan Gabriel, ya! Makanannya sudah kusimpan di freezer!"

"Baik, pak!" teriakku pada si supervisor yang muncul entah dari mana.

Gabriel bukanlah nama seorang anak manusia. Dia adalah seekor lumba-lumba di sebuah taman hiburan yang dipertontonkan demi meraup sebongkah rupiah. Aku bekerja disini bersamanya di salah satu taman wisata di Jakarta. Kurasa Gabriel adalah salah satu rekan kerja paling koperatif yang pernah kutemui. Ia ramah dan tak pernah mengumpat walau ia tak suka minuman kola sepertiku. Tapi paling tidak kami memiliki kesamaan yang mendasar, yakni jenuh akan manusia. 

Aneh rasanya mendengar seorang manusia yang muak dengan manusia, bukan? Jujur, sesekali terpikir olehku bagaimana rasanya hidup menjadi lumba-lumba yang bebas bermanuver di laut lepas. Itu yang kubayangkan jika Gabriel tak terjebak disini hanya untuk menebalkan dompet para kapitalis gila harta. Terkadang aku bisa merasakan apa yang dirasakan Gabriel karena kami sama-sama mendambakan kebebasan dari dunia yang cacat ini.

Sejujurnya bukan aku yang melatih Gabriel dalam melakukan atraksinya melainkan pelatih sebelumnya dimana ia sempat memberitahuku bahwa Gabriel bukanlah satu-satunya korban dari rakusnya para mucikari lumba-lumba ini. Ia pernah melatih beberapa lumba-lumba lain dan kebanyakan diantaranya mati akibat stres yang memuncak. Namun di setiap lumba-lumba yang mati akan selalu datang lagi lumba-lumba baru sebagai pengganti. Gabriel adalah satu-satunya anak didiknya yang bertahan sampai sekarang. Aku tahu Gabriel pasti tertekan juga. Tapi tak ada yang lebih penting dari bertahan hidup untuk saat ini. Gabriel adalah lumba-lumba yang riang dan aku bisa merasakan harapan di senyumnya yang lugu itu. Jujur, hal itu lebih menyakitkan untuk dilihat daripada memergokinya menangis sambil mendengarkan lagu D'Masiv.

Setelah memberi beberapa keping mayat ikan tuna dingin kepada Gabriel, aku menyegerakan diri untuk pulang. Ucapan sampai jumpa kulontarkan padanya seolah memberi salam pada rekan kerja sebelum pulang. Hari sudah menjelang sore dan tampaknya agak mendung, aku mengayuh sepedaku sedikit cepat namun tetap dengan santai sambil menikmati playlist indie-rock-folk yang terbundel dalam satu file mp3 karena tak sempat mengumpulkan lagu-lagu untuk didownload dari kanal youtube satu-persatu.

Di sepanjang jalan, aku mendapati beberapa papan reklame dan spanduk-spanduk yang menyerukan untuk menghetikan global warming. Tak jauh kemudian, jalanku terhalang oleh sekerumunan orang-orang yang melakukan orasi sambil membawa poster-poster yang menggambarkan betapa rusaknya keadaan bumi saat ini. Ah iya, aku baru sadar hari ini adalah hari bumi. Pantas saja mereka seramai ini. Aku mencari celah agar bisa melewati para demonstran yang jumlahnya hampir satu batalion tentara romania tersebut. 

"Kembalikan hewan sirkus pada habitatnya!" seorang wanita paruh baya menghampiriku dan memekikkan seruannya. Aku kaget bukan kepalang karena tak menyadari darimana wanita itu muncul. Sepertinya ia tau aku mempekerjakan seekor lumba-lumba karena seragam yang masih kukenakan. Ia terus berteriak sejauh delapan meter aku berjalan walau tau aku mulai tak nyaman. Lagu rock yang sudah kumaksimalkan volumenya pun tak dapat meredam penghakimannya. Teriakkan saja itu pada atasanku. Aku membatin. Lagipula aku tak punya wewenang apapun untuk menurutinya.

Setelah melewati lorong demonstran yang rasanya hampir sepanjang tembok cina itu aku pun menghela nafas lega walau pamflet dan spanduk kampanye mereka yang tertempel di seluruh sudut kota masih menemaniku sepanjang jalan pulang.

Sesampai di rumah aku mendapati ibuku yang tengah terbaring nyenyak dengan dikelilingi beberapa botol anggur merah murahan yang pastinya ia beli dari warung sekitar. Aku tinggal di salah satu daerah terkumuh di Jakarta dimana barang-barang illegal dapat ditemukan dengan mudah di sini. Kurasa para aparat juga enggan mengotori sepatu boots mereka. Setelah menyingkirkan botol-botol yang berserakan itu aku menyalakan televisi demi memutus rantai keheningan sebagai bentuk kecemburuanku pada rumah-rumah yang ramai oleh hiruk pikuk sepaket keluarga lengkap.

--gempa yang diperkirakan--lebih dari 10 skala richter--antartika--menenggelamkan beberapa--es serta--terdapat di dalamnya. Pihak--masih--penjelasan terkait fenomena yang terjadi-- 

mendengar narasi berita yang terputus-putus tersebut membuatku mengernyitkan dahi lebih tajam daripada sebelumnya. Sesekali aku memukul-mukul bagian atas televisi berharap gambarnya kembali jernih. Aku mencoba berpindah saluran tetapi hasilnya tetap sama dan dengan jengkel aku melangkah keluar untuk membetulkan antena TV. Selangkah keluar dari pintu depan aku terdiam mematung keheranan. Warga sekitar berkeremunan sambil menengadah ke arah langit. Mereka tampaknya putus akal namun masih mencoba berkomunikasi satu sama lain mengenai apa yang terjadi di depan mata mereka. Aku tahu ada yang tak beres karena aku bisa merasakannya dengan jelas. Tersihir dengan keheranan mereka membuat kakiku berjalan melewati teras yang tertutupi kanopi.

Sejengkal dari teras aku kembali mematung. Kali ini aku tak bisa memikirkan apa-apa setelah awan-awan yang hitam pekat bergerak pelan dari kejauhan mengejar sekawanan burung yang bersorak panik seolah ingin memberitahu sesuatu kepada seluruh penduduk bumi dan langit. Aku tahu ada yang tak beres dengan awan hitam itu. Gemuruh disertai angin yang sedikit kencang membawa dedaunan yang bahkan masih hijau beterbangan dalam satu arah, membelakangi arah laut. Ya, aku tahu pasti kalau awan itu bergerak dari arah laut.

Menyadari ada sesuatu yang salah, aku pun berlari ke arah bukit yang tak jauh dari rumah setelah mendapati ibuku ternyata masih tertidur pulas. Aku membawa ransel kecilku yang berisi teropong yang setiap hari kubawa untuk mengamati pola hidup manusia lainnya. Angin semakin berhembus kencang. Aku sedikit kesulitan saat mendaki bukit demi mendapatkan view yang jelas di arah laut. Beberapa kali kakiku tergelincir karena bukit ini terlalu tandus dan rapuh untuk dipanjat. Setelah beberapa menit mendaki akhirnya aku mencapai bagian tertinggi dari bukit dan mendapatkan pemandangan yang jelas-

-sangat jelas sehingga aku benar-benar tak mampu berpikir jernih lagi. Tubuhku gemetar, kakiku mati rasa dan aku mengernyitkan dahi untuk terakhir kalinya. Angin semakin kencang dan hal yang kutahu pasti adalah-awan hitam itu tak bergerak pelan, melainkan sangat-sangat cepat diiringi oleh gelombang air setinggi monumen nasional.

-bersambung

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang