Chapter 2 : Bahtera

24 2 2
                                    

Langit sore kala itu sungguh tak terlihat ramah. Ia tampak sangat marah dengan segala gemuruh yang menggebu-gebu. Lampu-lampu kota yang tadinya mulai dinyalakan untuk menyambut malam kini berkedip nyala redup mengikuti ritme sambaran kilat. Burung-burung terbang menjauhi laut dengan formasi asal-asalan namun searah. Pohon-pohon palm yang menjulang tinggi di bibir pantai menari-nari riang mengikuti alunan angin. Aku melihat sederet gelombang air yang kurasa hampir setinggi monumen nasional atau lebih, aku tak tahu pasti. Yang pasti itu mengarah kemari dengan sangat amat cepat. Beberapa rintik air sesekali menghujam pipiku seperti peluru hingga menyadarkanku bahwa aku tak sedang bermimpi indah di siang bolong. Lututku bergetar masih mencoba menopang kaki untuk berpijak pada bumi. Rambut-rambut halus di sekujur tubuhku mulai berdiri seperti seekor kucing saat menyaksikan ajalnya. Lagipula rasanya memang benar-benar seperti menghadapi kematian. 

Sejenak otakku mati rasa. Otak yang biasanya kuakui lebih spesial dari otak kebanyakan orang inipun tak dapat mencerna apapun yang ada di hadapanku saat ini. Aku hanya terpaku bahkan saat menyadari bahwa sesuatu hal buruk akan terjadi dan itu nyata. Kakiku ingin bergerak, berlari jauh menghindari kematian. Ada ribuan orang di bawah sana yang tak tahu apa yang akan mereka hadapi. Aku ingin berlari kepada mereka dan berteriak sekencang-kencangnya seperti burung-burung yang memekikkan kicauannya. Gelombang air itu tampaknya sudah hampir menyentuh bibir pantai. Awan hitam yang tadinya jauh itu kini tampak lebih jelas. Ah, sial. Kurasa itu bukanlah awan hitam sama sekali. Itu lebih seperti gumpalan abu gelap yang tampak seperti awan. Dan aku masih tak dapat berpikir jernih. 

Dengan langkah seperti ayam yang terbirit diburu anjing liar aku mencoba berlari menuruni bukit. Aku harus kembali, pikirku. Aku menumpukan seluruh kekuatan pada otot kaki dan membungkukkan badan sebungkuk-bungkuknya. Alas sendalku terus bergesekan dengan tanah secara berulang. Naas, alih-alih dapat berlari kencang aku malah menghantam tanah karena tak dapat menyeimbangkan badan. Kematian yang mengejarku itu tampaknya menyeringai girang. Mataku berat, dahiku berkerut, bibirku bergetar. Aku tampak seperti bocah kecil yang terjatuh dari sepeda. 

Bola mataku berkaca-kaca. Kedua buah telinga indahku tak dapat mengenali satu bunyi pun. Abu gelap beterbangan layaknya salju. Badanku rubuh tertarik gravitasi. Jujur aku ingin menangis. Dunia terasa berputar pelan. Benar kata orang, waktu akan bergerak dalam mode slow-mo saat kematian sudah tepat diujung tanduk. Sejenak aku berpikir, buat apa aku lari. Aku teringat sebuah kutipan pada papan reklame iklan rokok yang bertuliskan "I have nothing to lose". Aku menarik naik ujung kiri bibirku. Lagipula apa yang akan terjadi bila aku kembali ke bawah sana? Tak ada untungnya buatku, begitupun buat mereka. Manusia sudah melampaui batasnya, bukan? Mungkin inilah saatnya untuk bumi membalas cacatnya ulah tangan-tangan mereka.

Ajal sudah menyentuh daratan. Amarah bumi terasa jelas dari gejolak anginnya yang berhembus ganas. Udara bercampur debu-debu pekat tersangkut di seluruh rongga pernapasanku. Panas dan dingin rasanya menjadi satu. Pepohonan di bibir pantai tumbang satu-persatu. Warga di kaki bukit tampak sudah menyadari kematiannya. Mereka berlari berhamburan menjauhi amarah bumi. 

Anjing! carutku membatin. Mataku membulat sejadi-jadinya saat melihat gedung setinggi hampir tujuh puluh lantai yang katanya pencakar langit ditelan bulat-bulat oleh segunung air laut yang terus bergerak maju, tak gentar siapapun yang dihadapinya. Aku menyeringai berharap nabi nuh datang dengan heroik bersama kapalnya yang berisi pengikut-pengikutnya. Aku bukanlah maniak kitab suci yang selalu ingat untuk melakukan ritual-ritual keagamaan. Tak religius, kata orang. Tapi jika itu benar-benar nabi nuh mungkin aku akan menuhankannya.

Bahtera air itu sudah sejengkal dari nyawaku. Untuk terakhir kalinya aku menoleh ke arah kediamanku untuk menyiratkan ucapan selamat tinggal sebelum akhirnya aku memejamkan mata dengan bibir bawah yang kugigit namun tetap mencoba mengukir senyuman. 

Akhir yang indah buat kita semua.

Tubuhku rasanya seperti ditampar dengan tangan seukuran pulau Bali. Tak satupun suara yang dapat kudengar selain dengungan panjang tanpa ritme seperti mesin elektrokardiograf saat gelombang denyut nadi membentuk garis lurus horizontal. Beberapa benturan sangat terasa disekujur tubuhku. Kaki, lengan, tulang-punggung, betis, hingga kepala. Tapi itu tidaklah lebih terasa dari air yang menusuk hidungku dengan paksa yang membuat mataku seperti ingin minggat dari cangkagnya. Untuk sesaat aku merasakan sensasi anti-gravitasi di pesawat ulang-aling. Aku memusatkan seluruh permukaan wajahku pada bagian tengah menahan perihnya air yang mencekoki tenggorokanku saat mencoba menembus paru-paru. Tubuhku terus berputar-putar tak tentu arah. Kepalaku rasanya ingin kuhantam saja dengan palu besi. 

Sialnya, Tuhan tak berpikir panjang. Sesuatu membentur kepalaku. Mataku membelalak paksa dengan bola mata yang berputar vertikal ke atas. Cairan kental mengalir hangat melewati indra pengecapku. Tanpa ampun, sesuatu kembali menghamtam sekujur tubuhku untuk terakhir kali dan mendorongku dengan kecepatan penuh. Tubuhku perlahan mati rasa, tak berdaya, tak seujung jari pun. Mataku sepertinya sudah meninggalkan rumahnya. Tak satupun warna dapat kukenali selain gelap. Aku merelakan tubuhku tercabik-cabik amarah cambukan laut. Aku mengalah dengan mutlak hingga kesadaran tak lagi menjadi teman baikku.

Gelap.

Tak berdaya.

Gelap.

Mati rasa.

Gelap.

Tak bersisa.

Gelap.

Tak bermakna.

Gelap.

Gelap.

Aku suka gelap. Tempat berkumpulnya segala rasa sakit, rasa takut, rasa marah, rasa sedih. Sebuah nirwana dimana semuanya tampak nyata. Tak ada suara. Tak ada dusta. Aku suka hawa dingin namun menghangatkan dalam gelap. Aku bebas marah, menangis, mengumpat, takkan ada yang peduli. Gelap. 

Aku melangkahkan kakiku tanpa arah. Tak tau harus kemana. Hanya terdengar gemiricik air. 

Ah, iya. Kurasa aku baru saja berjabat tangan dengan ajalku. Sungguh sebuah pertemuan yang tak terduga. Kecupannya bahkan masih terasa. Pipiku terasa lembut, dan lembab, dan juga... 

...hangat. Tapi kenapa hanya pipi saja? Tubuhku rasanya terkutuk gunung bersalju. Dingin. Membuatku ingin segera beranjak. Tolong. Lava vulkanik pun tak apa. Sepertinya ada yang salah. Harusnya aku sudah mati, bukan? Kenapa aku masih merasakan hal remeh seperti dingin? 

Kepalaku perih. Aku memeganginya dengan kedua tangan dan menunduk. Mataku mengatup sekuat tenaga. Gelap dihadapanku mulai menjadi kemerah-merahan. Pekat namun menyilaukan. Mata kiriku berusaha mengintip. Gerahamku bertemu atas dan bawah saling menekan menahan perih di antara dua bola mataku. Aku mengerahkan seluruh tenaga hanya untuk membuka mata dan menyadari ternyata-

-aku masih hidup.


bersambung...

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang