Chapter 3 : Mengutuk Kesunyian

13 1 2
                                    

4 hari pascabahtera.

"Tuhan benar-benar bajingan".

Hari kesekian aku menggoreskan garis pada tembok beton sebagai penanda hari pengganti kalender, sambil berharap kematian bisa hadir bak malaikat di siang bolong. Matahari sejengkal dari ubun-ubun dan tubuhku masih terdampar di sebongkah apartemen dengan tingkat kemiringan yang tajam, serta genangan air setinggi dua belas lantai.

Ya, dua belas lantai. Aku bisa memastikannya dari jumlah kamar yang berjumlah dua puluh di setiap lantainya. Dan saat ini aku berada di depan kamar bernomor 244, bagian terdalam yang bisa ku jelajahi dari gedung ini dengan nomor kamar terakhir yaitu 300. Tiga lantai sisanya sudah kugeledah demi mencari harapan hidup.

Tangga menuju lantai bawah hanya berisikan air yang tak bisa kupastikan ujungnya karena aku terlalu malas untuk mencari tau. Aku berharap tak ada monster laut yang menari-nari di dalam sana berpesta ria dengan "tetanggaku" di lantai bawah.

Aku menggerutu disetiap menyapa teman-teman tak bernyawa yang berceceran bagai warga pasca pesta miras ini. Aku menutupi mereka semua dengan apapun yang bisa dipakai. Kain, selimut, plastik sampah, apapun itu. Lucu rasanya mengingat beberapa hari sebelumnya aku hampir tak bergeming hanya karena bangkai seekor anjing pug yang tergeletak kaku dengan separuh badannya tertutupi lemari kayu seukuran lift barang. Aku tak beranjak sedikitpun hingga perutlah yang menentukan langkah kakiku.

Berhari-hari aku mengutuk Tuhan karena tak membiarkanku pergi dengan tenang bersama dengan pug itu, menuju keabadian tentunya. Aku bisa melihat si anjing tersenyum lembut sebelum aku menenggelamkannya ke laut bebas kemarin sebagai penghormatan terakhirku pada makhluk tak berdosa itu. Terasa damai, dan iri.

Aku ingin melakukan hal yang sama pada tetangga-tetangga ramah lainnya, namun sayangnya hanya tangan kanan yang bisa kuharapkan saat ini disaat tangan lainnya sudah membiru dengan bentuk tak karuan dihiasi jemari yang remuk berlumuran darah yang sudah mengering. Hanya dengan kain yang kuikat kencang dibagian lengan atas berharap seseorang akan datang dan memotongnya dengan sepenuh hati. Memotong lenganku sendiri saja aku tak sanggup apalagi memenuhi keinginanku untuk merasakan nikmatnya kematian yang sedari tadi sudah diujung lidah kuimpikan. Kupikir semua semudah di film-film.

"Bangsat!". Carutku histeris dengan mata berair. Aku terkejut bukan kepalang saat membuka kamar 244 dan mendapati seonggok mayat terbaring syahdu dengan luka menganga di bagian perut. Baunya sungguh tak sedap, apalagi bentuknya. Aku melindungi hidung dari pekatnya aroma daging busuk itu sambil menahan sarapanku yang hampir meloncat keluar dari tenggorokan. Muntahku sudah di ujung gigi dan dengan sangat amat terpaksa kutelan kembali bulat-bulat mengingat aset pengganjal perutku yang terbatas.

Hampir semua makanan yang kutemui adalah makanan instan yang dengan penuh kesadaran selalu kulahap mentah-mentah. Tak ada api, tak ada pemanas, tak ada listrik. Hanya matahari dan panasnya kepala yang mendidih terhadap kegagalan Tuhan dalam mempertemukanku dengan ajal. Hari ini sepertinya aku banyak mengutuk Tuhan. Yah, tak ada gunanya juga menjadi anak baik dan menahan semua amarah beserta rasa takut tak berujung ini.

Dengan menumpukan pernapasan hanya melalui mulut, aku memasuki ruang 244 itu, membuka jendela kemudian meraih selimut basah di pojok ruangan dan menutupi tubuh pria paruh baya tersebut. Setidaknya demi menyelamatkan hidungku dari jepitan erat tanganku dan merasakan kembali kenikmatan menghembuskan napas melewati dua lubang hidung. Masih sedikit bau tapi beban hidupku serasa berkurang seperempatnya.

Aku menggeledah di setiap sudut mencari sesuatu yang bisa kukunyah beberapa hari kedepan. Tak pasti kapan lantai ini akan terbenam air nantinya, sebelum itu terjadi aku harus mengumpulkan apapun selagi sempat. Sifat serakahku sedikit mengganas. "Tabiat asli manusia akan muncul saat naik gunung". Kutipan khas pendaki entah siapa dan darimana itu tiba tiba terbesit. Tak hanya gunung rupanya. Selama itu dekat dengan kematian, kapanpun dan dimanapun itu tak ada gunanya lagi menyembunyikan harga diri. Pada akhirnya sisi hewani kitalah yang akan timbul di permukaan. Mendadak aku merasa bijak.

Soda kalengan, mie instan, baterai, dan, Ah anjing! Majalah bokep! Yang benar saja! Keberuntungan macam apa ini?

"Selera om-om ini boleh juga". Gumamku sambil membolak balik halaman barang haram yang mempertontonkan setiap lekukan tubuh wanita-wanita asia lokal itu. Sayang sekali pria malang ini tak panjang umur untuk menikmati dosa sederhana ini.

Memang tak etis rasanya tapi membayangkan aku bisa masturbasi hari ini dengan serotonin yang akan bergejolak membanjiri isi tengkorakku, rasanya semua rasa sakitku ini bisa larut untuk satu malam. Satu malam tanpa menceramahi diri dari bodohnya keputusan Tuhan yang ia ambil secara gegabah, menurutku. Sial, sumpah serapahku tetap saja tak bisa luput dari setiap paragraf kisahku ini.

Satu persatu hasil jarahan dari kamar 244 kumasukkan kedalam koper mungil bewarna biru cerah berhiasan wajah putri berambut putih bertuliskan "Frozen". Tak terlalu besar atau berat untuk kubawa dengan satu tangan menaiki anak tangga. Jangan tanya kenapa aku tak menggunakan tas ransel. Biarlah rasa nyeri luar biasa akibat luka sayat di punggungku yang menjawabnya.

Masih ada enam belas kamar lagi yang belum kujarah dan kuhabiskan waktu hingga magrib untuk merampok seluruh kamar yang tersisa. Tak banyak yang bisa diceritakan dari kamar lain karena kurang lebih akan sama saja seperti kamar 244 kecuali majalah bokepnya. Kamar 244 terlalu spesial.

Hari mulai gelap. Terlalu asik menjadi perampok apartemen, aku lupa bahwa aku bisa saja memasak air menggunakan panas matahari siang tadi demi menikmati semangkuk panas mie instan varian rendang. Tuhan, membayangkan rendang asli saja sudah seperti mengimpikan gaya hidup pejabat. Kesal, aku menyantap mentah sebungkus mie instan seperti hari sebelumnya sambil menikmati langit malam yang cerah berawan dari atas rooftop. Beberapa gedung pencakar langit lainnya dapat terlihat walau jaraknya lumayan berjauhan.

Setelah kenyang aku teringat rencana akan dosa yang akan aku lakukan malam ini. Aku meraih majalah favorit sejuta umat yang sedari tadi sudah bersanding denganku. Aku menatap sekeliling sejenak mengamati keadaan. Pikiran liarku mengambil alih. Tak perlu privasi apalagi selembar tisu.

Aku duduk menyandarkan diri pada tembok tepian, menyelonjorkan kedua kaki lalu membuka halaman majalah haram itu dan menelentangknya di permukaan lantai. Mataku memperkosa seluruh detail di halaman tersebut dan dengan penuh kesadaran aku menurunkan telapak tangan menggerayangi isi celanaku. Tentu saja makhluk mungil bernisial P itu langsung menjulang keras khas remaja puber yang baru mengenal dunia pornografi. Aku menggenggamnya erat kemudian mengokangnya naik turun tanpa basa-basi. Sesekali aku memejamkan mata menikmati setiap aliran dopamin yang menghilir ke amigdalaku. Ritme kokangan yang meningkat kemudian diikuti detak jantung yang kian menggebu-gebu. Napasku melaju bersamaan dengan punggungku yang mulai menolak gravitasi meninggalkan semua rasa sakit.

"Ohh". rintihku berbisik walau tahu takkan ada yang mengetahui dosa ini selain Tuhan. Sesekali aku membalik halaman majalahku mencari fantasi yang lebih melekat dengan preferensiku. Rambut bob pendek dengan bongkahan dada yang tidak terlalu menohok. Ah! Ini dia! Membayangkannya membuat bola mataku jungkir balik. "Oh, Tuhan. Nikma-"

Seketika lidahku terhenti dengan kedua kelopak mataku yang terbuka lebar.

Aku terbelalak saat membuka mata dan mendapati bulan yang baru saja menampakkan diri dari persembunyiannya. Awan-awan yang tadinya bertengger kini mengacir ditiup angin. Sejak awal aku bangkit dari kematianku, aku tahu bahwa ada yang aneh dengan bulan itu namun baru kali ini ia terlihat utuh. Bulat yang sempurna dengan warna biru yang benderang dan, sangat amat dekat. Aku hampir bisa melihat keseluruhan detail permukaannya yang selama ini kukira membentuk ibu menyusui. Aku menatapnya kagum. Tanpa sadar aku menghentikan perzinaanku namun dengan posisi tangan yang masih menggenggam alat kelamin. Aku terdiam. Lalu perlahan menitikkan air mata.

Aku menangis tanpa sebab. Dadaku sesak. Rasa sakit di sekujur tubuhku memusat di jantung. Perih, bingung, marah, takut, benci, semua menjadi satu. Tangisku makin menjadi namun diselingi tawa ngehe yang disebabkan rasa heran. Aku baru saja menangisi sekaligus menertawai cara kerja alam semesta yang diluar praduga. Sesak ini membuat tubuhku menggigil. Rasanya, aku baru saja jatuh cinta pada malam ini.



bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang