Prolog

161 6 0
                                    


"Saya sebagai mahasiswa berhak
untuk bersuara!"

"Suara siapa yang coba
kamu teriakkan??"

***

Kak Langit ❤

kak flashdisk Aru ada
kebawa di tas kakak ngga?

isinya makalah tgs
kelompok kak :(

kalo ada nnti Aru ambil ya

kak langit msh sibuk?

Terkirim.

Aru melangkah keluar kelas sembari mengalihkan pandangan dari layar ponsel yang kemudian mati. Bibirnya mengerucut.

Tiga jam berlalu, belum ada balasan apapun dari lelaki yang tak lain merupakan kekasihnya tersebut.

Chat terakhir dari kak Langit sekitar pukul 12 siang tadi, sementara ini sudah hampir pukul 5 sore. Artinya selama itu pula lelaki tersebut tidak menyalakan data seluler ponselnya.

Tidak biasanya begitu.

Mengingat setiap senin sore biasanya notifikasi ponsel Aru membludak berisikan chat dari kak Langit yang menanyakan ingin dibawakan apa. Cimol? Batagor? Roti bakar? Kebab?

Karena kak Langit bilang ngampus sore itu sama beratnya dengan menanggung ekspektasi orang tua, bercanda tapi serius.

Intinya, agar mood Aru tetap stabil meski sedang merasa lelah, pusing, berkunang-kunang, dengan dibawakannya makanan enak yang diinginkan gadis itu maka harap-harap semua perasaan mengganggu tersebut akan menguap---Ya, setidaknya Langit tidak akan jadi pelampiasan amukan lah. Karena cewek itu ribet.

Aru pun tidak perlu repot-repot menolak karena ujung-ujungnya makanan random itu akan tiba juga di kursi depan kosannya, beserta kak Langit yang tersenyum menyebalkan tentunya.

Namun, tampaknya sore ini berbeda.

Aru melirik ke dalam kafe dekat gerbang kampus, tempat dimana kak Langit biasa nongkrong menunggu dan memantau dirinya. Iya, karena hubungan keduanya sangat privasi alias sembunyi-sembunyi, yaa kurang lebih mirip kencan seorang idol dan kekasihnya lah.

Alih-alih langsung menjemput sang pacar, biasanya Langit memilih nongkrong di kafe tersebut terlebih dahulu. Mengobrol bersama orang-orang asing yang kebetulan selalu mengenalinya, sembari diam-diam menunggu Aru lewat. Setelah melihat gadisnya itu melintas, selang beberapa saat barulah kemudian lelaki itu menyusul ke kosan Aru dengan vespa matic nya.

Hari ini vespa kak Langit tidak ada, begitupun pemiliknya.

"E ehh jangan ditutup! Kusut amat muka lo, beb," ucap Serly sewaktu Aru melangkah loyo memasuki pekarangan kost mereka.

"Mau ke mana?" tanya Aru melihat tetangga kamar kostnya itu mengeluarkan motor.

"Ketemu ayang."

"Emang punya?"

"Anjir!"

Aru terkekeh. "Nitip makanan dong gue. Mager masak, mager keluar."

"Cowo lo kemana say? Direbut mbak mbak kampus cantik ya?"

"Iya kali."

Serly mengeraskan gigi gemas.
"Pasrah amat anjrit."

"Abisnya suka ngilang.."

Teman Aru itu menyalakan mesin motornya, "Palingan juga ikut aksi turun ke lapangan, kaya nggak kenal cowo lu aja."

"Aksi?? Emang hari ini ada demo lagi? Bukannya kemaren terakhir ya?"

"Ru? Lo nggak apdet atau begimana sih? Justru hari ini puncaknya beb, buka story watsap noh. Ricuh dimana-mana, kak Heman, kak Radi ikutan semua.."

WHATT???

Seketika kepala Aru pusing,
buru-buru dibukanya story dari teman-teman terdekat kak Langit itu. Benar saja, suara teriakan ramai mahasiswa berlatarkan gedung Gubernur setempat itu sudah tak lagi teratur. Keadaan jauh dari kata kondusif.

Di antara semua orang yang meng-update tentang aksi hari ini, Aru mencoba menemukan sosok yang dicarinya. Kak Langit. Dia tidak bergabung kan? Tidak mungkin kan kak Langit berpartisipasi tanpa mengabarinya sama sekali? Bahkan berani mengingkari janjinya sendiri.

Malam tadi keduanya sudah sepakat tidak akan ada lagi aksi demo dalam waktu dekat. Mengingat keadaan kak Langit yang jauh dari kata baik sebab sempat terjerembab ketika kerusuhan terjadi di aksi unjuk rasa kemarin. Lukanya bahkan belum mengering.

"Ru? Aruu.. Hei? Lo kenapa.."

"Anterin gue ke lokasi demo sekarang!"

"Ap-- LO GILA? Ngapain?" Mata Serly membulat.

"Anterin--" Aru menahan cairan di pelupuk matanya. "Pliss.."

"Nggak. Jangan aneh-aneh lu, mau dienjek-injek orang lu di sana hah?"

"Ser--"

Drttt drttt

Belum sempat menyelesaikan kalimat dada Aru terasa lega setengah mati melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Ia nyaris menangis saking kalutnya.

Kak Langit, kak Langit menelpon. Syukurlah ya Tuhan.

"Halo! Kak Langit kemana aja?? Kenapa baru ngabarin kak kan kak Langit udah janji nggak bakalan ngilang-ngilang lagi. Aru khawatir kak.." serunya tanpa henti tak dapat membendung rasa khawatir.

"Arunika.."

Deg.

"K-kak?"

"Dek.. ini kak Radi, maaf baru bisa kasih kabar. Waktu aksi tadi situasi ricuh tak terkendali, sempat adu bentrok parah antara mahasiswa dan aparat.." Terdengar helaan napas panjang. "Langit ditahan, dek. Tapi, tapi jangan khawatir, kakak sama--"

"Jangan khawatir??" Tiba-tiba tangis Aru pecah, rasa terkejut bercampur takut, bingung, kecewa. Semua jadi satu. Dan orang ini masih mencoba memintanya untuk tidak khawatir.

"Kak Langit gimana, dia gimana di sanaa."

"Dek, dengerin dulu--"

Aru semakin terisak.
Tangannya gemetaran. Buru-buru Serly mematikan motornya panik lantas memeluk temannya tanpa tahu apa yang tengah terjadi. Entah apa yang kak Radi katakan setelahnya, gadis itu tak begitu mendengar jelas karena ponselnya sudah terlepas dari genggaman.

Sore ini Aru bener-benar hilang kendali atas dirinya sendiri.

Untuk apa kak Langit mengikat janji kalau ia sendiri yang mengingkari.

Untuk apa Aru di sini kalau kata-katanya tak pernah dimengerti.

Apakah sudah waktunya hubungan ini ia akhiri?

.

.

Tbc..

3/07/22

Hello! Hello future ~

Project libur semester, sedang berusaha produktif dgn menulis haha..

Cerita ini sebagian besar ttg campus life, serba-serbi mahasiswa, love, friendship, little bit politic, ect..

Kalau nantinya cerita ini sampai ke ending, Aru dan Langit mungkin bakalan jadi tokoh paling berkesan yang pernah aku tulis.

((Why??))

Haha. I'll tell u someday.

Anyway, enjoy this story!

ArulangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang