Rio, lelaki yang berdiri di depan Shabila itu tersenyum. "Hai sayang. Akhirnya kita bertemu langsung setelah sekian lama."
"Tak mungkin. Kamu kan sudah.."
"Mati." Sela Rio.
"Ya. Dan bagaimana bisa kamu muncul dihadapanku?" Tanya Shabila.
Rio tersenyum. "Karena sekarang kamu juga sudah mati Shabila." Jawab Rio.
Shabila tertawa. "Mati katamu? Aku masih hidup. Jangan mengada-ada kamu."
"Pagi tadi kamu sudah mati sayang. Setelah kamu melepas kalung sialan itu dan memberikannya pada anak kita, lalu tubuh kamu bergerak dengan sendirinya mengejar anak kita. Sampai akhirnya kamu tertabrak mobil dan meninggal di tempat, tanpa kamu sadari."
Shabila menggeleng sambil tertawa getir. Lelucon macam apa ini? "Jangan mengada-ada brengsek." Shabila bergerak maju mencengkeram kerah kemeja hitam yang Rio kenakan.
"See? Kamu bisa menyentuhku. Itu artinya kamu sudah mati sayang. Karena orang yang masih hidup tak akan bisa menyentuh orang yang sudah mati, begitupun sebaliknya." Ucap Rio dengan senyum dibibirnya.
"Tak mungkin. Ini pasti mimpi. Ya ini mimpi, iya ini pasti mimpi." Gumam Shabila.
Mendengar itu Rio tak suka. "Ini bukan mimpi sayang. Kamu memang sudah mati. Mati karena janji kamu sendiri."
"Janji apa lagi brengsek." Teriak Shabila frustasi.
Rio menyeringai. "Janji hanya akan menikah denganku, bukan dengan pria lain. Tapi kamu mengingkarinya sialan." Rio berkata tajam. "Kamu juga membunuh anak kita. Teganya kamu bil. Teganya kamu membunuh anakku"
Wajah Shabila pias.
Ya. Tiga bulan setelah kematian Rio Shabila hamil. Saat itu Shabila bingung harus bagaimana. Rio sudah tak ada. Dan jika orang tuanya sampai tahu ia hamil di luar nikah, tentu saja ia akan diusir dari rumah. Maka dengan terpaksa Shabila menggugurkan janinnya.
Suara daun terinjak terdengar di belakang tubuh Shabila. Saat menoleh, ia melihat seorang anak lelaki yang berdiri memandang dirinya.
"Itu anak kita" Rio bersuara. "Alex kemari."
Alex, anak lelaki yang tadi merebut kalung salib Shabila berjalan mendekat saat Rio memanggilnya. "Mommy." Ucapnya saat berada di hadapan Shabila.
"Bukan. Kamu bukan anakku." Teriak Shabila.
"Shabila. Jangan bicara seperti itu pada Alex, dia bisa sakit hati." Teriak Rio murka.
Alex memandang Shabila dengan sedih. Lambat laun tubuh Alex mulai mengecil. Wujud anak lelaki itu kini berubah menjadi gumpalan daging.
Melihat itu, Shabila melangkah mundur. Wajahnya pucat pasi. Gumpalan daging itu adalah janin yang ia gugurkan.
Tak mungkin.
Shabila syok bukan main. Ia berharap ini hanya mimpi buruk dan ia berdoa agar ia cepat terbangun. Shabila berlari meninggalkan Rio dan Alex. Ia tidak tahu dirinya berlari kemana, ia hanya asal berlari agar terbebas dari dua lelaki yang membuatnya gila.
Secara tiba-tiba ia keluar dari hutan dan terjatuh di depan rumahnya. Rumah orangtuanya lebih tepatnya.
Shabila memandang rumah itu dengan nanar. Kakinya melangkah pelan ke dalam rumah. Seketika nafasnya tercekat, disana ia terbaring tak berdaya di peti mati.
Ia melihat ibunya yang menangis histeris sambil memanggil namanya, ayahnya yang selama ini terkenal galak pun juga diam membisu dengan mata sembap. Teman-teman kerjanya hadir disana menangisi kepergiannya.
Shabila melangkah mendekati sang ibu. Ia berteriak memanggil ibunya, ia berteriak memanggil semua orang dan mengatakan jika ia disini, ia masih hidup. Tapi tak ada yang menyahut. Semua orang seperti tak melihat dirinya.
Tangan Shabila terangkat menyentuh sang ibu. Namun alangkah terkejutnya ia saat tangannya menembus tubuh sang ibu.
Karena orang yang masih hidup tak akan bisa menyentuh orang yang sudah mati, begitupun sebaliknya.
Ucapan Rio menggema bagaikan kaset rusak di telinga Shabila.
Apa ia benar-benar sudah mati?
"TAK MUNGKIN." Teriak Shabila. "Ini pasti mimpi."
"Ini bukan mimpi. Nyatanya kamu memang sudah mati."
Shabila menoleh saat pendeta Joseph menjawab teriakannya.
Shabila memandang penuh binar pada Joseph. "Kamu bisa melihatku? Itu artinya aku masih hidup kan?"
"Sayangnya tidak. Sudah kubilang, jangan pernah melepas kalung itu, tapi kamu melepasnya. Sekarang tak ada yang bisa kulakukan untuk membantumu. Kamu terikat janji dengan orang yang sudah mati. Parahnya orang itu dulunya pernah membuat perjanjian dengan iblis, dan sekarang kamu harus menepati janjimu."
Membuat perjanjian dengan iblis? Siapa? Rio? Rio membuat perjanjian dengan iblis? Tapi kenapa?
Ribuan pertanyaan berputar di kepala Shabila. Bagaimana bisa Rio yang ia kenal bisa melakukan perjanjian dengan makhluk yang menjadi musuh manusia itu?
Seketika Shabila teringat pertemuan pertamanya dengan Rio di pameran. Lukisan Iblis Menjemput. Mungkinkah itu gambar iblis yang membuat perjanjian dengan Rio? Pantas saja gambar itu terlihat janggal menurut Shabila.
Tapi sekarang yang terpenting bukan itu. Shabila harus memikirkan cara bagaimana terlepas dari janjinya. Ia menatap pendeta Joseph. "Bagaimana caranya agar aku terlepas perjanjian konyol ini? Aku tak mau mati seperti ini. Ini tak adil untukku." Erang Shabila frustasi.
"Tak ada yang bisa kau lakukan. Semua sudah terlambat." Kata pendeta Joseph.
Shabila menggeleng panik. "TIDAAAK." Shabila berteriak, tetapi sayang tak ada yang mendengarnya.
End.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANJI [SELESAI]
Short StoryRio mencintai Shabila. Rio rela memberikan hidupnya untuk Shabila. Cinta Rio untuk Shabila tak akan pernah padam bahkan jika Rio mati sekalipun. Jika Rio mati, tak ada yang boleh memiliki Shabila, karena Shabila terikat dengan Rio. *** Shabila ingin...