SATU

14 7 0
                                    

Malam yang indah. Di atas sana bertabur bintang. Bulan bersinar dengan terang. Angin bertiup terasa menusuk. Dingin. Semua orang memilih di rumahnya bersama keluarganya. Tidak ada satupun orang yang ingin keluar. Mereka merasa nyaman dan hangat.

Seorang laki-laki berusia kepala tiga sedang duduk di halaman markas yang menjadi rumah baginya dan beberapa penghuni lainnya. Ia mengambil sebatang rokok dan menyelipkannya di bibirnya. Menyalakan pemantik rokok dan terlihat rokoknya sudah terbakar. Menyesapnya dengan nikmat dan menghembuskannya. Asap rokok dibawa pergi oleh angin yang berhembus. Laki-laki itu hanya bisa memperhatikannya. Atensinya beralih saat handphone-nya berdering.

"Kita rugi banyak, Tuan Miki. Dan itu semua ulah dia," terdengar panik. Takut jika penerima panggilan tersebut marah besar.

"Putri hitam, ya," gumamnya. "Kali ini, aku mengampunimu. Mengingat, kau adalah bawahan tangan kananku yang bernama Heru."

"Te-terima kasih."

Panggilan ditutup secara sepihak oleh Miki. Ia menatap langit malam yang indah. Pandangan yang kosong, kulit putih dan mata besar nan indah dengan kantung mata yang hitam. Tubuh kurusnya dibalut oleh pakaian berwarna hitam.

Ia penasaran, siapa 'putri hitam' itu. Menurut informasi yang beredar, dia hanya seorang gadis bertubuh mungil. Dalam dunia kriminal, dia dijuluki 'putri hitam'.

"Kau sudah berurusan dengan orang yang salah. Meskipun kita adalah kriminal, tapi kau hanya gadis bertubuh mungil."

Miki adalah seorang kriminal. Ia adalah ketua dari organisasi kriminal yang ia dirikan. Tidak ada yang tahu identitasnya sebagai kriminal. Begitu juga dengan teman-temannya. Mereka mengenal Miki dan teman-temannya sebagai sahabat yang selalu bersama dalam suka dan duka.

•••

Matahari terbit dari timur. Sinarnya menembus jendela setiap rumah. Menyinari dengan kehangatan. Burung bernyanyi dengan merdu. Bunga bermekaran dengan indahnya. Semua penghuni rumah memulai aktivitasnya. Sesekali mereka bertegur sapa saat bertemu.

Seorang gadis sedang berjalan menyusuri jalan. Rambut hitam panjang, kulit putih, wajah yang tirus, hidung mancung dan mata yang sipit. Ia sudah bukan siswi atau seorang mahasiswi. Namun, bagi siapa saja yang melihatnya akan mengira ia sebagai seorang siswi. Ia bernama Kiyoshi Jisu atau yang dikenal sebagai Jisu.

Jisu terus berjalan dan sampailah ia di sebuah tempat pemakaman. Tempat di mana semua nama orang yang sudah tidak ada terukir di sana. Jisu berjalan dan berhenti di satu nisan. Ia berjongkok dan menyatukan kedua tangannya. Ia mendoakan orang dengan nama yang tertulis di nisan itu, Kiyoshi Shiota. Setelahnya, ia berbicara sendiri dengan nisan itu.

"Selamat pagi, kak. Apa kabar?" tanyanya. Ia tersenyum. "Apa aku pantas bertanya seperti itu, kakak? Aku mau bercerita tentang aku tanpa kakak. Aku harap kakak mau dengar cerita aku."

Jisu masih tersenyum sembari menatap nisan kakaknya.

"Kakak, apa aku masih pantas disebut sebagai adik kakak?" tanyanya, namun tidak mendapat jawaban. "Aku bodoh. Berbicara sendiri dengan batu nisan. Aku sendiri di sini. Aku tidak punya siapapun. Aku punya rumah, aku punya mobil dan aku juga punya uang yang cukup. Tapi, aku tidak punya siapapun di sini."

Perlahan dan pasti, air mata jatuh membasahi pipinya.

"Maafkan aku, kakak. Terima kasih untuk semuanya, kakak."

Jisu berdiri dari posisinya dan berjalan meninggalkan tempat itu.

•••

Kiyoshi Jisu bukan seorang pengusaha sukses. Tapi, ia sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kuncinya, ia hanya membeli barang seperlunya saja dan menyimpan sisanya. Tidak heran jika sekarang ia memiliki semua yang ia inginkan, seperti rumah, mobil dan uang yang cukup untuknya.

HADIAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang