Dua puluh menit yang lalu, aku mengantarkan nenekku ke rumahnya. Sekarang, aku tertidur di atas ranjang kesayanganku yang sudah dirapikan oleh nenek.
Aku tertidur ditemani sepinya malam tak ada mimpi, semuanya hitam. Sayup-sayup suara dari desiran pepohonan masih bisa aku dengarkan. Sebab, aku baru saja tertidur dua puluh menit yang lalu. Belum terlalu nyenyak. Guling berwarna putih, aku dekap dengan erat. Iya, aku tidak bisa tidur tanpa benda ini.
Drrrttt ....
Terdengar getaran dari suatu benda di dekatku, awalnya aku biarkan. Namun, getaran itu terus terdengar. Aku pun membuka mataku, dan mengetahui bahwa itu adalah ponselku yang bergetar di atas nakas yang berada di sebelah ranjangku. Cahaya ponselku membuat kedua mataku silau, setelah beberapa kali mengedipkan mata, akhirnya aku sudah terbangun cukup sempurna.
Bunga. Itu nama kontak yang memanggilku di tengah malam seperti ini, nama Bunga dengan emoji bunga sakura. Beberapa lipatan tercipta di dahiku, aku menggeser tombol hijau ke atas lalu mendekatkan ponsel ke telingaku.
"Aa ... ayah dan ibu bertengkar. Sini A ... Bunga takut." Suara Bunga bergetar, terdengar pula dengan samar-samar gebrakan meja satu kali.
"Aa ke sana, kamu masuk kamar! Kunci! Jangan ke mana-mana!" aku langsung memutus sambungan panggilan dengannya.
Emosi di dalam diriku langsung menggebu-gebu, nafasku memanas dan memburu. Bergegas aku mengambil jaket tebal dan mengambil kunci motor. Aku keluar menuju kamar Gama dan mengetuknya dengan kencang. Aku berdecap kesal karena Gama tidak membukanya karena tertidur. Aku membuka pintu kamarnya dengan kunci serep yang aku miliki—kita berdua saling memberikan kunci satu sama lain.
Aku menarik selimut Gama, menarik tubuhnya hingga terduduk. "Bangun, cepat!"
Gama terkesiap, dia langsung turun dari ranjang. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, dia bertanya. "Ada apa?"
"Si Bangsat itu berulah lagi," aku mengambilkan jaket tebal dan helm untuk Gama. Telingaku mendengar Gama menyebut nama suami ibuku. Aku mengangguk. "Cepat!"
Gama memakai jaket dan helm dengan cepat, kita berdua berlari ke halaman indekos. Gama inisiatif membukakan gerbang untukku. Aku pun keluar gerbang, lagi-lagi Gama dengan cepat menutup kembali gerbang dan menggemboknya.
"Cepat, Raka!" bahuku ditepuk olehnya ketika dia sudah menduduki jok bagian belakang motorku. Lalu dengan menancapkan gas sangat kencang, aku berangkat menuju kediaman Ibuku.
***
Setelah sampai, aku langsung turun. Meninggalkan Gama yang sedang mengambil kunci motor yang masih menggantung.
Aku membuka pintu dengan kasar, pandanganku lurus menuju dapur. Di sana, sudah ada suami ibuku dan ibuku yang sedang menangis, meringkuk, menutup kepalanya karena ketakutan, "Wah, anjing. Jaga tanganmu dari ibuku, dasar bajingan!" aku berjalan dengan cepat, lalu menarik dan menghantam tubuhnya hingga terperosok ke lantai ketika aku sudah bisa meraih tubuh manusia bejat di hadapanku ini.
"Raka!" ibuku berteriak, hendak mendekati suaminya namun aku menahan tubuhnya. Menarik tubuhnya agar menghadapku.
Aku menatap wajah ibuku, terdapat memar di kedua pipinya, "Ibu gila?! Muka ibu sampai memar begini." Bukannya berterima kasih, aku malah diludahi oleh ibuku sendiri.
"Dia masih ayah kamu! Jaga etika kamu!" teriaknya dengan kencang sambil masih berusaha untuk melepaskan tubuhnya dari cengkeraman tanganku.
Aku menggelengkan kepalaku kecewa, "Ibu sudah gila," kepalaku menoleh ke arah tangga, melihat Bunga yang ternyata sedari melihat kejadian itu. Aku lebih kesal, "Gama!" aku teriak, ketika melihat Gama sudah masuk ke dalam. Dia berlari, "Bawa ibuku dan Bunga ke dalam kamar, cepat!" aku memaksa ibuku untuk bergerak ke arah tangga, dibantu oleh Gama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shelf Love
RomanceMenjadi dewasa, bukanlah hal yang istimewa. Melainkan, ini adalah masa kita tenggelam dalam lautan luka, dan juga kecewa. Entah itu karena cinta, atau karena orang terdekat kita seperti keluarga. Kehilangan rasa mencintai diri sendiri, seakan sudah...