Fajar

6 1 0
                                    

Hari ini adalah hari yang paling dibenci oleh manusia—hari senin. Begitu pun dengan diriku. Aku sedikit jengkel dengan hari ini, sebab dia datang untuk menarikku dari waktu luang. Namun, suka-tidak-suka. Kita harus tetap bergerak, lalu kembali ke dalam rutinitas seperti biasanya.Tas selempang berwarna hitam polos, berisikan satu buah laptop, buku binder bersampul hitam, serta satu buku pengembangan diri yang berjudul "Filosofi Teras" karya Henry Manampiring. Seperti biasa, sekarang aku duduk di balik meja reservasi yang berada di perpustakaan umum ini, menyimpan laptopku di loker dengan pintu geser, aku biasa menyimpan laptop di sana, beserta benda-benda lainnya. Sebab loker ini bisa aku gunakan sebagai meja. Setidaknya aku berpikir demikian. Udara sejuk, langit yang mendung, hal yang sangat lumrah untuk Bandung. Jalanan sepi, seakan manusia belum ada yang pergi, atau sekedar lari pagi. Cuaca ini memang cocok untuk menjadi kepompong di dalam kamar, tubuh yang diselimuti oleh kain tebal sehingga tubuhnya hangat. Nyaman. Kesunyian ini membuatku melamun, menikmati sepi yang menenangkan hati. Entah sudah berapa lama aku tidak melakukan aktivitas seperti ini, menikmati waktu sendiri, tanpa ada orang yang mendekati. Aku suka sendiri. Ting! Dering notifikasi dari ponselku terdengar, perlahan aku membuka kedua mataku, bersamaan dengan tangan kananku yang bergerak mencari letak ponsel pintarku. Layar hitam itu menjadi bercahaya, selanjutnya layar itu menunjukkan bilah notifikasi yang menampilkan nama seseorang yang entah sebenarnya aku mengharapkannya atau tidak. Perasaanku sekarang aneh. Itu adalah mantan kekasihku. Kirana."Hai!"Pesan singkat itu berhasil membuatku tercekat, kenangan yang sudah kujalani berdua dengannya secara mendadak langsung tersirat. Apa yang gadis ini mau? Aku bertanya-tanya di dalam hatiku, ada ragu untuk menjawab. Namun ada rindu untuk kujawab. Kedua ibu jariku menari di atas layar bercahaya itu, membalas pesan singkat dengan emoji lambaian tangan saja. Tanpa sepatah dua patah kata lain.Tiga menit sudah aku menunggu, selama itu pula ponselku tidak memunculkan tanda-tanda jika Kirana hendak membalas pesanku itu. Lantas, aku kembali meletakkan ponsel itu, sebab tidak ada tanda-tanda, juga ada pengunjung perpustakaan yang datang masuk ke dalam. "Selamat pagi, selamat datang di Pitimos!" dengan hangat aku menyapa perempuan muda yang tidak terlalu tinggi, rambutnya tidak panjang, rambutnya mengambang beberapa senti dari atas bahunya. Perempuan itu tersenyum, lalu mendekat ke arahku.Perempuan berdiri di hadapanku, jarak kita berdua hanya sebatas meja reservasi dengan lebar enam puluh senti, kepalanya sedikit terangkat untuk menatap wajahku. Bibirnya bergerak, lalu berkata, "Bisa tolong tunjukan di mana letak rak khusus buku fiksi romansa?" suaranya lembut bagaikan terpaan angina di kala pagi, juga bibirnya sangat ranum.Sebenarnya, menunjukan letak buku bukanlah pekerjaanku, namun, melihat keadaan perpustakaan yang sepi dan masih pagi, sepertinya itu bukan masalah, toh, hanya sekedar mengantarkan, tidak akan memakan waktu sangat lama. Aku berjalan keluar dari balik meja reservasi, menjadi berdiri tepat di sebelah perempuan itu, sekarang, aku bisa melihat perbandingan tinggi di antara kita berdua. Perempuan ini hanya setinggi bahuku saja."Mari, biar aku tunjukkan!" aku berjalan terlebih dahulu darinya. Dia mengikutiku dari belakang.Suasana sunyi menjadi pengiring perjalan kita berdua, aku yang menemani dan dia yang mengikuti. Ruangan ini memang luas, namun, aku sudah sangat paham dan hafal dengan letak ruangan, membuat perjalanan panjang itu menjadi singkat. Rak berwarna coklat setinggi satu meter lima puluh senti, berderet hingga sepuluh deretan. Semuanya berisikan novel dengan genre fiksi romansa. Aku tersenyum kecil ketika wajahku berpapasan dengan wajah perempuan dihadapanku ini. Tampaknya, dia senang ketika melihat jutaan halaman dari buku romansa, berdiri sempurna di hadapannya, buku-buku itu sudah siap untuk disentuh dan dibaca oleh perempuan yang belum aku ketahui namannya ini. Derap langkah terdengar ketika perempuan itu mengentakkan kakiknya ke permukaan lantai, dia sekarang satu langkah lebih maju daripadaku, dia berjinijit, meneliti setiap buku yang berbaris, tepat di depan matanya. Tatapan memuja tampak sangat jelas, seakan dia menemukan setumpuk bongkahan emas yang dapat membuatnya menjadi kaya raya tanpa bekerja susah payah. Namun, tiga detik kemudian, perempuan berambut pendek itu membalikan badannnya, dia menatapku. Lalu, dia berkata. "Boleh kau tunjukan, buku mana yang bagus untuk kubaca?" kalimatnya membuatku terkaget, ini kali pertama seseorang memintaku untuk memilih buku untuk mereka baca.Mulutku membisu, namun, anggota tubuhku yang lainny bergerak dengan kikuk, meneliti buku yang bagus, agar perempuan di sampingku ini tidak menganggapku laki-laki dengan selera rendahh.Perempuan itu berdiri tepat disampingku, lengan kirinya dengan sempurna menyentuh bahu kananku, ia mendongakkan kepala, lalu menatapku, "Coba cari buku yang sesuai dengan perasaanmu saat ini, kata orang, jika kita memilih buku yang sesuai dengan perasaan yang kita rasakan. Buku itu akan tepat dan juga indah." Ucap perempuan itu, sebelum ia kembali menolehkan pandagannya menuju rak berbentuk hati yang tersemat dengan indah di dinidng berwarna putih. Letaknya berada di ujung lorong ini, rak itu seakan-akan diciptakan untuk menarik perhatian orang yang datang ke lorong ini, sebab, sepertinya rak itu adalah hal pertama yang akan dilihat orang-orang ketika datang ke sini. Atau, setidaknya akan menarik perhatian setiap orang, seperti apa yang terjadi kepadanya.Aku mengikuti arah pandang perempuan itu, aku tersenyum, sebabm aku teringat, di sana ada buku yang sesuai dengan perasaanku saat ini. Aku mengambil langkah lebar, meninggalkan perempuan yang meminta pertolongannya di belakang, "Ikuti aku. Di sana ada buku yang bagus, aku akan menunjukannya," belasan langkah telah aku tempuh, akhirnya aku sampai di depan rak kayu berbentuk hati ini, setelahnya, aku meneliti, menyapu setiap inci buku yang berjajar itu, lalu mengambil salah satu buku sampai aku menemukan buku dengan judul "Gerhana". Aku membalikan tubuhku, menyodorkan buku di tangan kananku padanya, "Kau bisa membaca ini, aku menyukainya." Bibirku tersenyum. Buku dengan judul "Gerhana" itu diambil alih olehnya, kini buku itu berada di genggamannya. Dia meneliti buku itu, menatap sampul serta tulisan singkat yang berada di bagian belakang, sekilas juga dia membaca patahan kata yang ditorehkan pada kertas itu."Buku itu menceritakan dua orang yang saling jatuh cinta." Aku menatap perempuan di hadapanku yang sedang meneliti buku pilihanku.Terdengar kekehan pelan dari mulutnya, dia menatapku, "Aku memintamu untuk memilih buku romansa, jika bukan tentang cinta. Untuk apa?""Kau benar." Tangan kananku bergerak otomatis, menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak terasa gatal. "Perkenalkan, namaku Jiya," tangan kanannya diulurkan ke arahku. Tentu aku sedikit terheran, apakah dia baru saja memperkenalkan namannya kepadaku atau bagaimana? Namun, agar tidak menjadi canggung, aku pun menjabat tangannya, dan memperkenalkan namaku. Aku melihatnya tersenyum, "Salam kenal, Raka.""Salam kenal, Jiya. Senang bertemu denganmu."...Ternyata, pertemuan singkat itu membuat kita berdua menjadi sedikit lebih dekat. Lihat saja, sekarang aku dan dia, mengobrol di meja reservasi, katanya dia ingin berdiam lebih lama, sembari menemaniku agar tidak kesepian. Lucu sekali."Jadi, sejak kapan kau cinta pada dunia sastra seperti itu?" Tanya Jiya kepadaku yang sedari tadi menggoreskan tinta berwarna hitam pada lembaran kertas dari buku harian milik Jiya. Dia mau membaca puisi buatanku."Hmmm... " sejenak aku berhenti dalam kegiatan menulis puisi, menatapnya lalu menjawab, "Sejak, kelas delapan SMP, aku jatuh cinta pada buku saat itu." Kepalaku aku tundukan kembali, melanjutkan menulis puisi.Jiya tersenyum ketika menatapku yang telaten menulis kata-kata di buku hariannya, pandangannya tersemat kearahku hingga dentingan yang keluar akibat pesan singkat yang terkirim ke ponselnya, membuat kegiatan itu menjadi teralihkan. Raut wajahnya berubah seketika melihat apa yang ditunjukan oleh benda pipih itu."Aku harus pergi lebih dulu, sampai jumpa!" aku kaget mendengar itu, buru-buru aku mengembalikan bukunya, namun, ketika aku hendak melakukan itu, dia sudah pergi terlebih dahulu, "Simpan saja dulu, aku akan mengambilnya!" dia berteriak seperti itu. Mau tidak mau aku menyimpannya dengan perasaan bingung.

Shelf LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang