01

10 0 0
                                    

Satu hal yang sangat merepotkan dari berpacaran adalah putus. Kau akan berusaha mengingat barang apa saja yang pernah kekasihmu berikan lalu mengumpulkannya menjadi satu ke dalam kardus dan membuangnya.

Namun hal itu bisa sangat menguntungkan untuk kalian yang baru menjalin sebuah hubungan dan tidak perlu menghabiskan waktu untuk mengingat barang-barang itu. Tetapi sepertinya hal itu tidak berlaku untukku. Lihat, apa yang sedang aku lakukan sekarang?

Helaan napasku terdengar sangat frustasi, aku tidak peduli dengan penampilanku yang sudah seperti orang depresi yang berharap mati saja itu juga. Di depanku sekarang ada empat kardus besar yang keduanya telah terisi penuh dari barang-barang yang sangat ingin aku buang.

Ya, kalian benar.

Kami putus.

Namun, sialnya, aku telah 8 tahun berpacaran dengannya. Tanpa sadar aku menertawakan diriku sendiri. Jika sekarang aku berada di tempat terbuka, seseorang mungkin akan mengira bahwa aku gila.

Aku tidak peduli.

Hatiku kacau, raga dan kedua mataku sangat lelah dan perasaanku tidak baik-baik saja. Tangan kiriku terangkat untuk mengusap rambut panjang yang menutupi wajahku ke belakang, setelah itu jemariku meremas rambutku dengan sedikit kasar. Aku mendongak membiarkan lelahan air mataku mengalir dalam diam. Dibawah sinar senja yang siap meninggalkan cakrawala sore itu, kenangan kami terlintas kembali, berputar seperti kaset rusak, memenuhi kepalaku.

Aku tidak pernah membayangkan akan seperti ini akhirnya. Bagaimana bisa dia memutuskan hubungan semudah itu? Keputusannya membuatku berpikir tentang hari-hari yang telah kami habiskan bersama dimasa lalu, apakah semua itu hanyalah sandiwara? Kepura-puraannya saja untuk mencintaiku?

Namun pikiran itu segera aku tepis dan kembali berpikir positif bahwa dia bukanlah tipe orang yang seperti itu. Bagaimana bisa seseorang berpura-pura mencintai selama itu. Aku memaksa kepalaku untuk tidak berpikir yang negatif. Namun kenyataannya tidak bisa, kalimat kejam yang beberapa saat lalu dia ucapkan masih terngiang ditelingaku.

"Udahan ajalah, kita."

Aku terpejam saat kembali mengingat kata-kata itu. Jika boleh jujur, aku juga ingin memarahi diriku sendiri karena bersikap seperti aku bisa hidup tanpa dirinya dengan menyetujui keputusannya.

"Baiklah, kau selalu bilang untuk menghargai keputusan orang, bukan? Jika itu keputusanmu, maka baiklah, selesai, kita."

Aku tersenyum miris sambil mengusap air mataku, detik selanjutnya isakanku mulai terdengar memilukan, menggema didalam kamar yang sunyi. Aku menangis. Meluapkan kesedihan yang sudah sejak tadi kutahan.

Dadaku terasa sesak, tangisanku tak kunjung berhenti setiap kali bayangannya kembali memenuhi kepalaku. Aku tidak ingin menyangkal bahwa saat ini aku sudah sangat merindukannya, aku ingin segera memeluknya dan memohon agar tidak berpisah. Aku ingin merasakan kedua tangannya dipunggungku, mengusap kepala dan membersihkan sisa jejak air mataku.

Aku merindukannya hingga rasanya sangat menyesakkan.

-0-

Written by CAVELYNA
Inspired by Keisya Levronka - Tak Ingin Usai

Cerita Pendek | Short Story | TAEYONG NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang