Hujan turun pada bulan Juni, membuat pepohonan di sisi taman sekolah tampak basah. Harum petrikor menyeruak memasuki ruangan kelas yang berada di depan taman mini itu. Di dalam sana, tampak seorang gadis sedang mendengarkan musik dengan earphone berbentuk Doraemon mengingat suasana kelas masih sepi. Sesekali, matanya mencuri pandang dengan teman sebangkunya yang membisu sejak kemarin.
"Ain, maafin aku soal kemarin, ya?" dia membuka suara.
Gadis berambut pendek tersebut melengos, merasa jengah dengan kekeras kepalaan Lisa. Sebelum memilih diam, Aini sempat meledakkan amarahnya. Dia berkata dengan keras, "Suka boleh, bego jangan!"
Lisa sempat tersentak saat Aini berbicara seperti itu di dalam kost mereka.
"Jauhi Kak Cakra sekarang juga, Lis. Dia tuh, nggak sebaik yang kamu kira. Kamu lihat apa yang udah Kak Anjani lakuin ke kamu. Semua itu, gara-gara siapa coba?"
"Tapi, Ain. Kak Cakra nggak salah, Kak Anjani yang terobsesi sama dia sampai nekad kayak gitu."
Aini menatap tajam ke Lisa, giginya bergemeluk, lalu berteriak semakin keras.
"Bodo amat! Terserah! Seenggaknya aku udah pernah nasihatin kamu berkali-kali."
Lisa menghela napas dalam, mengingat kejadian dua hari lalu. Kini, otaknya berpikir keras mencari cara untuk membuat amarah sahabatnya mencair. Secara perlahan, dia merapatkan jarak dengan Aini yang duduk terdiam di sampingnya.
"Aku mau beli sarapan, kamu mau nitip?" tawar Lisa.
Aini tak mengacuhkan pernyataan itu, bibirnya hanya menjawab, "Hmm." tanpa menoleh ke pemilik suara.
"Tunggu sebentar, ya?"
***
Kelas 10-A mendadak gempar dengan peristiwa hilangnya ponsel salah satu pengurus OSIS. Semua orang yang berada di kelas berdiri berjejer di depan papan tulis sambil mengamati seorang guru yang menggeledah isi tas mereka.
"Kenapa kelas kita di geledah juga, ya, Ain?" tanya Lisa setengah berbisik.
Aini tampak kikuk, tapi enggan menanggapi Lisa.
Gerakan Bu Rina terhenti saat menemukan ponsel berwarna merah muda dengan softcase bergambar wajah Anjani di belakang. Wanita itu, menatap sinis ke arah Lisa.
"Lisa, ikut ke ruangan saya sekarang juga!"
Beberapa teman di kelasnya, tampak berbisik-bisik di belakangnya dengan tatapan menuduh.
Lisa duduk di kursi yang paling ditakuti anak sekolah, yaitu kursi di ruang BP. Guru bimbingan menatapnya dengan serius, tangannya mengeluarkan barang bukti di atas meja.
"Lisa, apa ini ponsel kamu?"
Lisa tertunduk tak sanggup menjawab pertanyaan, badannya terasa lunglai ketakutan.
"Jawab pertanyaan saya, atau panggil orang tuamu ke sini, Lisa!"
"Ja-jangan, Bu." jawab Lisa dengan nada bergetar. "Itu bukan ponsel saya, Bu. Saya juga nggak-"
"Terus kenapa ada di dalam tas kamu?"
Bola mata Lisa bergerak-gerak diwarnai dengan titik air di permukaannya.
"Apa kamu mencuri?"
Lisa menggeleng cepat.
"Demi Tuhan, saya nggak pernah mencurinya, Bu."
"Yakin?"
"Yakin, sangat yakin, Bu."
"Sumpah?"
"Sumpah!"
Sang Guru menghela napas berat, lengannya membuka laptop di mejanya.
"Kalau begitu, saya cek di cctv, ya?"
Lisa mengangguk.
Rekaman cctv diputar di hadapan Lisa, terlihat jelas siluet seseorang yang sangat familiar di matanya. Seorang gadis berambut pendek tengah memantau seseorang, terbukti dengan gerak-geriknya yang mondar-mandir sambil menengok kanan-kiri seperti memastikan sesuatu. Setelah itu, adegan berlanjut saat dia memasukkan sesuatu di dalam tas Lisa. Sesaat kemudian, rekaman di jeda.
"Jadi ...?"
Lisa menutup mulut, tak menyangka dengan tindakan Aini.
Suasana hening beberapa detik, kedua orang di ruangan itu disibukkan dengan pikiran masing-masing.
Lisa keluar dari ruang BP dengan wajah ditekuk, hatinya terasa remuk redam. Tanpa diduga orang yang paling dekat dengannya adalah orang musuh yang paling berbahaya. Seperti kata pepatah, bagaikan musuh di dalam selimut.
Sepanjang pelajaran, Lisa hanya diam begitu juga dengan Aini yang masih dengan diamnya. Seperti bom waktu, sepulang sekolah Lisa meledakkan bom amarahnya.
"Aini tunggu!" tangan Lisa mencekal Aini yang akan menyeberang ke halte sekolah.
"Aini! Kenapa kamu memfitnah aku? Kenapa ?!"
Ekspresi terkejut terukir di wajah Aini.
"Kenapa, Ain?" Matanya berkaca-kaca tak sanggup menahan bulir bening yang merangsek keluar.
"Fitnah, apa? Aku nggak memfitnah kamu."
"Bohong!"
Aini ingin berjalan, tanpa memedulikan Lisa. Dia mengalihkan pandang tanpa menghiraukan Lisa.
"Aini!" Lisa menarik tangannya lagi, sedangkan Aini menghempaskannya.
"Apaan sih?"
"Kenapa memfitnah aku? Kamu bersekongkol sama Kak Anjani?"
"Dibilang enggak, ya, enggak! Susah, ngomong sama kepala batu." jawab Aini sambil berlalu.
"Bohong! Kamu jangan bohong, Ain!"
"Kalau nggak percaya, coba kamu buka matematika di tas kamu. Aku cuma masukin surat ke tas kamu, bukan hape." jawab Aini sambil berlalu.
Lisa menahan lengan Aini, sedangkan pemilik lengan menghempasnya lagi dan lagi. Mereka saling dorong dan menarik sampai Aini terjatuh di tengah jalan. Belum sempat bangun, tiba-tiba sebuah mobil melaju di depan mata dengan kencang. Klakson mobil sempat terdengar, sebelum akhirnya benda mati itu menghantam sesuatu di depannya.
Brak!
Bunyi benturan keras memekakkan telinga terdengar diwarnai rintihan yang melengking di hadapan Lisa. Darah mengalir serta berceceran di bawah mobil hitam itu. Lisa mematung dengan ekspresi yang tak tergambarkan. Dengan tubuh yang bergetar, dia berteriak menyebut nama "Aini!" dengan air mata terurai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memutar Waktu
Teen FictionAda pepatah mengatakan, orang yang paling berbahaya adalah orang yang paling dekat denganmu. Lisa-gadis malang-yang selalu dirundung Kakak kelasnya, kini harus menanggung masalahnya sendirian. Sahabatnya-Aini-yang selalu membelanya tiba-tiba berubah...