BAB 5

6 1 1
                                    

Bunyi sirine ambulan saling bersahutan dengan isakan Lisa. Di depan matanya, tergeletak tubuh yang sekarat tak berdaya. Seorang tenaga medis lain menepuk pundaknya pelan seolah menguatkan. Mobil meluncur secepat kilat, lalu berbelok memasuki gerbang rumah sakit.

Lisa ikut mengejar Aini yang tengah didorong dengan tergesa-gesa oleh beberapa orang. Langkahnya terpaksa terhenti saat brankar yang menopang Aini memasuki ruangan bertuliskan ICU.

“Aini …!” Lisa terus meraung-raung.

Beberapa menit kemudian orang tua Aini, datang tergopoh-gopoh. Wanita paruh baya dengan hijab seadanya itu menangis histeris, di pelukan lelakinya.

“Ya Allah,” rintihnya.

Laki-laki dengan rambut yang mulai beruban menghampiri Lisa, “Gimana kejadiannya, Lis? Kenapa sampai ketabrak mobil?” cecarnya.

Lisa menggeleng ketakutan.

“Kenapa bisa nggak tau?” Rusli–ayah Aini–menyibak rambut frustasi.

“Bohong dia, Pah. Kata Bu Rina di telepon, ada yang lihat dia dorong anak kita sampai jatuh, Pah.” tukas Ibu Aini dengan sesenggukkan.

Ratna–Ibu Aini–terus memaki teman anak gadisnya. Lisa menangis sejadi-jadinya sampai terperosok. Tatapan Ratna ke Lisa seolah memancarkan kebencian yang mendalam, sedangkan sang suami menariknya untuk menjauh dari teman anaknya.

***

Lisa terbangun dari tidurnya dengan mata yang sembab. Biasanya saat bangun tidur, retina matanya menangkap sosok Aini di sisi ranjang, tapi hari tidak lagi. Semalam Ibu Ratna mengamuk padanya, setelah Aini dinyatakan meninggal. Dia melontarkan sumpah serapah dan mengancam akan menuntutnya.

Lisa diusir secara mentah-mentah saat akan menjenguk Aini untuk yang terakhir kali. Padahal di dalam hati gadis itu, dia merasakan kehilangan yang teramat menyakitkan.

Pagi ini, Lisa berangkat sekolah sendirian. Dia harus membiasakan diri hidup tanpa Aini. Meletakkan tas di atas meja, tapi ada keterkejutan dari sorot matanya. Spontan dia membungkam mulutnya, luruh sudah air mata. Meja dan tempat duduknya penuh dengan makian serta coretan kata “pembunuh!”

“Siapa yang corat-coret meja aku?!” teriak Lisa dengan nada bergetar.

Hening. Tidak ada sahutan dari teman-temannya, kecuali tatapan mengintimidasi.

“Aini salah apa sih, sama kamu?” Dinda yang duduk di depan bangkunya buka suara.

“Iya. Padahal, selama ini Aini udah baik loh, sama kamu,” celetuk yang lainnya.

Lisa tertunduk, tidak bisa menjawab satupun pertanyaan yang menyudutkan.

“Sudah-sudah, kita nggak boleh menghakimi tanpa tau kebenarannya. Kasian kan, Lisa.” Tina berusaha menengahi.

“Kebenaran apa lagi? Banyak yang lihat, Lisa dorong Aini sampai ketabrak mobil.”

“Ih, ngeri. Di kelas kita ada sosiopat,” cela Rahmat.

“Psikopat kali.” sambung Dinda.

Semua orang di kelas saling menyoraki dan mencibir.

Lisa menutup telinganya rapat-rapat, bergegas ke keluar kelas untuk meredam resah.

Namun, tidak seperti harapannya. Di sepanjang koridor sekolah beberapa pasang menatapnya dengan tatapan sinis, ada juga yang saling berbisik sambil menatapnya.

“Oh, itu yang dorong temennya sampai mati.”

“Jahat banget dia, ya.”

Lisa mengabaikannya, sambil terus berjalan ke arah kantin. Sesampainya ke kantin, Ibu kantin menodongnya dengan pertanyaan.

“Neng, maaf, ya. Ibu mau nanya, emang bener kamu yang dorong Aini sampai ketabrak mobil?”

Seperti dejavu, entah sudah berapa orang yang bertanya dengan pertanyaan yang sama. 

“Maaf, Bu. Nggak jadi.” Lisa berlari menjauh, tetapi dia bertabrakan dengan Cakra.

“Eh, gebetan kamu, tuh.” Edwin menowel Cakra.

“Cih, ogah! Nanti nama baik aku jadi ikutan jelek malah.”

Lisa membulatkan mata, padahal beberapa hari yang lalu Cakra masih gencar mendekatinya.

“Semuanya gara-gara Kak Cakra! Kalau saja Kak Cakra nggak ngedeketin aku pasti semuanya nggak kayak gini,” bentak Lisa.

Mendadak semua orang menoleh padanya. Para gadis berdiri bergerombol, seolah-olah dapat tontonan gratis.

“Apa?! Gara-gara aku?” Cakra menunjuk dirinya. “Kamu nggak salah?”

“Kalau saja aku ngikutin saran Aini. Seandainya aku ….” suaranya tercekat dengan air mata yang kembali menggenang.

Sadar menjadi pusat perhatian, Lisa bergegas melarikan diri dari tempat itu.

Langkah kakinya berhenti di belakang sekolah, hanya di tempat inilah dia terbebas dari gunjingan teman-teman sekolah.

Dia berteriak sambil menangis tersedu-sedu.

Tepukkan tangan menghentikan tangisnya, lalu menoleh ke arah suara.

“Wah, wah … Ada yang sedih nih, ye,”cibir Anjani.

“Cih.” Lisa memalingkan muka enggan menghiraukan.

“Udah berani kamu sama kita?” si Kriwil menjenggut rambut Lisa.

“Gara-gara kamu, kita jadi ikut-ikutan disangkut pautin sama kamu, nih!” ucap Anjani.

Ayu mengangguk-angguk setuju.

“Lagian nggak tahu diri banget, punya temen setia kayak gitu malah disia-siain.”

“Setia?” Lisa menatap tajam Anjani. 

“Sekongkol sama kalian buat fitnah aku, itu yang namanya setia?” sambungnya.

Anjani dan teman-temannya hanya terkekeh.

“Dih! Belum tau dia,” ujar si kriwil.

“Nih,” Anjani menyodorkan sepucuk surat, “baca!”

Lisa memindai isi kertas tersebut, lalu kembali dibuat terkejut oleh kenyataan. Mata sembabnya kembali meneteskan air mata. Dia begitu tertekan sampai tubuhnya begitu lunglai.

“Jadi …,” Lisa memandangi Anjani, Ayu, dan si kriwil secara bergantian.

“Kalian jahat!”

Dengan geram Lisa menyerang Anjani dengan membabi buta. Ayu dan si kriwil yang menahannya tampak kewalahan menghentikan keberanian dan tenaga Lisa yang datang entah dari mana.

“Apa salahku!” satu pukulan membuat hidung Anjani berdarah.

“Kenapa kalian jahat sama ku?” Sikutan tangan Lisa mengenai dada Ayu.

“Berhenti!” si kriwil mencekal tangan Lisa, tapi malah berakhir dengan tendangan di perutnya.

“Lisa, Anjani, Ayu, Mari, hentikan semuanya!”

Mereka menghentikan aktivitasnya, lalu menoleh secara bersamaan.

Memutar WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang