-
)
-"Perkiraan saya hanya satu Minggu sisa hidup anda."
Kali ini benar benar ia tak bisa apa apa. Nafasnya tercekat mendengar berapa lama lagi ia hidup, dirinya bagai di hantam batu yang begitu besar. Tanpa sadar air matanya jatuh mengalir di pipinya, bahkan tatapannya kosong bagai seseorang tanpa masa depan. Tapi bukankah itu benar?, Dirinya sudah tak punya lagi masa depan, hidupnya hanya satu pekan lagi. Hanya satu pekan.
Apa apaan semua ini?, Dalam satu pekan ia harus apa?, Ia harus bagaimana?, Dirinya akan mati, mati.
Bagaimana nanti ia menjalankan hidup yang hanya satu pekan?, Bagaimana nanti ia meninggalkan keluarganya, temannya dan sahabatnya?, Lalu bagaimana nanti ia memberitahu mereka semua?. Tidak, ia tidak perlu memberi tahukan mereka semua tentang penyakitnya, bisa bisa semuanya hanya fokus untuk menyembuhkan penyakitnya di bandingkan mengukir kenangan indah selama sisa hidupnya.
"Dokter."
"Ya?"
"Bisa tolong rahasiakan penyakit saya dari siapapun?" Dokter Liam tampak ragu dengan permintaan Alvean,
"Setidaknya sampai saya berhenti hidup."
Alvean terus menatap menantikan jawaban dari dokter, "saya hanya ingin membuat mereka bahagia dan lebih mudah melepaskan saya. Saya tidak ingin membebani mereka apalagi keluarga saya untuk menyembuhkan penyakit yang mustahil untuk sembuh. Saya hanya ingin bahagia dengan mereka semua, walaupun hanya satu pekan."
Dokter terenyuh, pertama kali ia mendapatkan pasien yang begitu kuat dan tabah dengan penyakitnya, walaupun di matanya ada banyak ketidakpercayaan dan rasa ingin memberontak, "baiklah. Tapi berjanji untuk selalu bahagia dalam satu pekan, oke?"
Alvean tersenyum, ia mengangguk dan berterima kasih, "kalau begitu saya pamit." ia mengambil hasil diagnosa penyakitnya dan memasukkan ke dalam tas, sebelum benar benar pamit ia melirik jam, ternyata sudah jam 8, sialnya ia benar benar telat hari ini,
"Lah jam 8?, Gila gue telat banget." Alvean segera pamit dan berjabat tangan, "terimakasih dok, saya pamit dulu udah telat banget." ia bahkan berlari keluar terburu buru untuk ke sekolah. Dokter Liam menggelengkan kepalanya, ia kagum dengan anak itu, "hati hati!" peringatnya yang entah di dengar atau tidak oleh Alvean.
-
)
-"ALVEAN!"
"Mampus."
Padahal ia sudah berjalan berjinjit agar tidak ketahuan oleh guru killer di sekolahnya, tetapi tetap saja ketahuan. Ingin sekali ia mendoakan agar gurunya minus, supaya tidak bisa melihatnya saat berangkat terlambat. Lumayan biadab memang untuk murid seperti dia.
"Udah jam berapa ini?!"
"Lah bapak punya jam kenapa tanya saya." tunjuk Alvean ke jam tangan milik gurunya. Lantas kumis hitam putih sang guru naik turun dengan kelakuan salah satu anak didiknya, "sudah sudah, hormat di lapangan sampai istirahat pertama!!"
"Lah bapak yang mulai kok."
"Berani kamu?!"
"Saya mah takut sama tuhan doang pak."
"HORMAT SAMPAI ISTIRAHAT KEDUA!!"
Alvean mendengus sebal, ia memang tak berniat untuk meledak gurunya, tapi terlalu sia sia juga jika tidak membuatnya panas di pagi hari. Ia berjalan santai dan menaruh tasnya di kelas terlebih dahulu, "pagi bu putri." bu putri yang di panggil hanya menggeleng sudah tak heran, "telat lagi?"
"Iya dong bu." tawa Vean tak luput dari kekehan teman sekelasnya, "ngga ada kapok kapoknya kamu di hukum pak goho." pak Nugroho yang biasa di panggil goho oleh warga sekolah, terkenal guru killer yang gampang terpancing emosi oleh anak anak seperti Alvean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu pekan
Short StoryHanya satu pekan sisa waktu Alvean untuk hidup menurut prediksi dokter. Dengan sisa waktu yang ada, ia ingin membuat kenangan indah dan membahagiakan semua orang yang ia sayang. Namun, sanggupkah di akhir nanti ia meninggalkan semuanya? "Kalo gue p...